.

Kasepuhan Cibedug

Oleh Afrianto Afif

Dalam sebuah kesempatan sesepuh adat memberikan gambaran mengenai philosofi yang selama ini menjadi pedoman hidup mereka yaitu : ”Ieu tentang hukum adat nyaeta hukum kami. Hukum kami nyaeta : Gunung kayuan, lamping awian, lebak sawahan, legok balongan jeung datar imahan. Gunung teu beunang dilebur lebak teu beunang diruksak. Ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak Sing runtut raut sauyunan sabobot sapihanean. Mipit kudu amit ngala kudu menta. Sing kacukcruk walunganana sing kapapay wahanganana. Nete taraje nincak hambalan”

Bila diartikan dalam bahasa yang sederhana aturan diatas menegaskan bahwa tutur kata yang bijak, bertingkah laku yang baik, menyelesaikan segala sesuatu dengan musyawarah merupakan nilai positif yang harus senantiasa didengungkan dan diaplikasikan dalam  setiap harinya. Tidak hanya dengan sesama manusia, tapi juga ada penghormatan terhadap makhluk yang lainnya. Penghormatan terhadap setiap makhluk yang telah diciptakan oleh Tuhan menjadi kewajiban dan tanggungjawab bersama.  Dalam konteks pengelolaan kawasan, gunung-gunung harus senantiasa berkayu,  daratan dipenuhi bambu-bambu, persawahan, perikanan untuk perekonomian masyarakat, dan pemukiman harus diatur sedemikian rupa melihat kondisi topografinya. 

Sesepuh juga menjelaskan bahwa peraturan yang tidak tertulis tersebut hanya dibingkai dengan kepercayaan terhadap leluhur dan mekanisme sanksi “kabendon”. Secara umum tidak ada mekanisme sanksi yang tegas untuk menegakkan peraturan tersebut. Hal ini dikarenakan peraturan dibuat dengan kesadaran semua pihak. “Kabendon” menjadi mekanisme sanksi yang dirasa cukup oleh anggota masyarakat adat ketika ada pelanggaran. Setiap pelanggaran yang ada dikembalikan kepada masing-masing pihak. Terkecuali ada pelanggaran   yang cukup berat terkait dengan hal yang menimbulkan kerugian untuk pihak lain dan kepentingan umum, maka mekanisme yang berlaku adalah melalui peradilan adat. Sebagai contoh adalah bagi warga kesepuhan yang menggarap sawah atau ladang pada wilayah yang dilarang maka  pihak kasepuhan akan memberikan peringatan secara tegas dan warga tersebut berkewajiban untuk menanam sesuai dengan jumlah yang telah ditebang. Bila peringatan diabaikan dan masih melakukan hal yang sama maka akan kembali diperingatkan. Untuk yang ketiga kalinya tidak ada ampun bagi warga tersebut. Ia beserta kerabat dekatnya akan diusir dari wewengkon adat Kasepuhan Cibedug. 

Aturan Mengenai Leuweung Kolot dan Leuweung Titipan

Aturan yang berkaitan dengan leuweung kolot dan leuweung titipan merupakan peraturan yang paling tegas diantara peraturan yang lainnya. Hal ini dikarenakan pelanggaran terhadap peraturan ini akan berakibat fatal terhadap kepentingan umum. Dampak negatif yang  ditimbulkan dari pelanggaran yang terjadi adalah kerusakan hutan. Akibat dari kerusakan hutan menimbulkan dampak-dampak lain yang cukup signifikan yang sangat dikhawatirkan oleh masyarakat yaitu bencana longsor dan kekurangan air. Bilamana terjadi
pelanggaran, selain mekanisme kabendon akan berlaku juga pemanggilan terhadap pihak yang melanggar. Dalam  tahap awal pelanggar akan diberikan pengarahan. Namun bilamana telah melanggar lebih dari dua kali maka akan ada sanksi adat berupa pengusiran terhadap pelanggar dan seluruh keluarganya. Setelah itu pihak adat juga menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada pemerintah. Hal ini sesuai dengan prinsip yang mereka pegang yaitu “nyanghulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara” (menjunjung tinggi hukum memberi
kewenangan kepada negara). 

Prinsip “nyanghulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara” tercermin dalam simbol memakai ikat kepala. Ikat kepala yang mereka gunakan berbentuk segi empat yang melambangkan arah mata angin yaitu barat. Timur, utara dan selatan. Yang kemudian dilipat menjadi berbentuk segitiga yang melambangkan tiga hukum yang berlaku untuk kehidupan mereka yaitu hukum adat, hukum agama dan hukum negara. Setelah itu lipatan segitiga tersebut diikatkan dengan kuat pada kepala mereka dengan bagian yang berwarna putih berada pada sisi terluar yang melambangkan bahwa ketiga hukum tersebut akan dijadikan pedoman dalam
setiap mengambil keputusan terhadap persoalan yang ada pada mereka, bilamana ada perbedaan diantara ketiga hukum tersebut maka yang diambil adalah yang terbaik sesuai dengan kepercayaan mereka. 

Aturan Mengenai Leuweung Cadangan

Pengadaan dan pemanfaatan leuweung cadangan oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug merupakan salah satu bentuk pengetahuan masyarakat dalam perencanaan pembangunan yang memperhatikan perubahan yang ada di masyarakat. Dalam hal ini ialah adanya kebutuhan ketersediaan lahan dikarenakan
pertambahan anggota masyarakat adat/incu putu. Pertambahan  incu putu dapat diketahui dengan adanya ”jiwa usik” yang diadakan setiap tahunnya. Kegiatan jiwa usik merupakan kegiatan yang mirip dengan sensus penduduk. Dalam acara tersebut setiap  incu putu baik laki-laki maupun perempuan yang dianggap cukup umur dibawa ke kuburan leluhur untuk diperkenalkan pada leluhurnya. Setelah itu mereka dikhitan. Selain jumlah penduduk, kegiatan cacah jiwa juga menghitung kemampuan ekonomi masing-masing keluarga (sekaligus sensus ekonomi).  

Leuweung cadangan ini mempunyai batas-batas yang jelas yang biasa disebut dengan ”tukuh”. Incu putu dilarang memindahkan tukuh tersebut. Dengan begitu daerah leuweung cadangan tidak  akan bertambah luas. Incu putu tidak dapat menentukan tempat dan luasan leuweung cadangan dengan semena-mena.
Setiap ada incu-putu yang membutuhkan  lahan akan senantiasa berhubungan dengan perangkat adat. Perangkat adat memutuskan segala sesuatunya dengan musyawarah. Dalam penentuan luasan bagi anggota kelompoknya mereka mempunyai pedoman ”saeutik kudu mahi, loba kudu nyesa” (sedikit harus cukup,
banyak harus bersisa). Hal ini mengandung pengertian bahwa tidak ada patokan tertentu dalam penentuan luasan, namun prinsip yang digunakan berdasarkan kebutuhan.  

Di leuweung cadangan ini kayu bisa dimanfaatkan dengan batasan-batasan tertentu. Diantaranya adalah bahwa pemanfaatan kayu hanya untuk kepentingan umum saja, tidak untuk kepentingan pribadi. Selain itu juga adanya pembatasan dalam kuantitas pemanfaatan kayu. Bilamana ada mata air di sekitar Leuweung
cadangan maka pohon-pohon di sekitar kawasan mata air tersebut terlarang untuk  dimanfaatkan. Begitu juga lahan di sekitar kawasan tersebut tidak bisa dimanfaatkan untuk garapan maupun pemukiman. 

Aturan Mengenai Lahan Garapan

Jumlah penduduk yang tersebar di Wewengkon Adat Kasepuhan Cibedug sampai tahun 2006 mencapai lebih kurang 652 Jiwa atau sekitar 166 KK, yang tersebar di enam kampung yaitu Lebak Cibedug, Lebak Kalahang, Cinakem, Ciara, Cibeledug Girang, Cibeledug Hilir. Dengan rata-rata sebaran penduduk 30 Jiwa/km2 atau 8 KK/Km2. Penduduk terbanyak bermukim di Kampung Lebak

Cibedug sebagai pusat dari kasepuhan. Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug mempersiapkan beberapa lokasi untuk mengakomodasikan kepentingan lahan untuk pemukiman dan garapan. Pemukiman akan dialokasikan pada daerah-daerah yang secara adat mempunyai ciri cadangan kampung  (lembur) yaitu
dengan adanya  tukuh, juga kondisi lahan yang relatif datar. Sedangkan lahan garapan untuk mengakomodir kepentingan mata pencaharian pokok masyarakat juga dialokasikan di tempat-tempat yang disebut dengan leuweung cadangan dan reuma.

Pemanfaatan Lahan Garapan harus sesuai dengan aturan Adat Kasepuhan Cibedug. Diantaranya adalahadanya pola ”ragem”. Yaitu adanya kesepakatan waktu tanam secara bersamaan. Penentuan waktu bertanam ditentukan oleh perangkat adat. Seluruh incu putu akan mengikuti petunjuk dari perangkat adat
tersebut. 

 Aspek bercocok tanam sangat berhubungan sekali dengan ketahanan pangan bagi masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug, keadaan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari cara-cara tradisi dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam. Bercocok tanam ini sangat terkait dengan  kehidupan sehari-
hari masyarakat untuk dapat tetap bertahan hidup, sehingga bertani merupakan pilihan utama mata pencaharian masyarakat. Sehingga kebutuhan akan lahan untuk mengembangkan jumlah pangan yang  optimal merupakan modal utama, adapun lahan yang dijadikan tempat bercocok tanam tersebut mencakup sawah, huma, kebun/dudukuhan, sampalan dan balong (kolam).



a. Sawah

Warga kasepuhan sangat berhati-hati  dalam menerapkan cara-cara baru dalam mengelola tanah. Hingga kini mereka tetap mengolah sawah dan ladang dengan sistem yang mereka kenal yaitu  panen setahun sekali. Bibit padi yang mereka gunakan adalah bibit  padi tradisional yaitu jenis  pare gede atau  gogo ranca yang memiliki berbagai varietas. Dengan cara itu, mereka selama hidupnya tidak pernah mengeluh karena kekurangan padi. Bahkan mereka sering meminjamkannya kepada anggota masyarakat desa yang melakukan pengolahan sawah dengan cara-cara baru dan panen dua kali dalam setahun (Adimihardja, 1992). 

Lahan pertanian yang menjadi pokok utama sumber penghidupan masyarakat adalah sawah, komoditi padi merupakan komoditi pokok yang terus dibudidayakan oleh masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug. Menurut wawancara dengan masyarakat, bagi warga kasepuhan menanam padi merupakan kegiatan yang sangat penting, baik dilihat dari segi sosial maupun kepercayaan. Oleh sebab itu, setiap tahap dalam kegiatan tersebut selalu didahului oleh upacara yang diikuti oleh semua warga. Berbagai upacara itu berfungsi sebagai upaya agar panen berhasil dengan memuaskan. RMI (2006) menuliskan bahwa tahapan-tahapan dari
awal menanam padi sampai panen meliputi :
  1. Macul (Nyangkul) : Nyangkul mencakup macul badag dan macul alus di sawah
  2. Ngalur/Garu : Membajak sawah dengan menggunakan alat bantu garu dan hewan peliharaan kerbau
  3. Ngoyos : Membersihkan tanaman pengganggu dan gangguan rumput yang menghambat pertumbuhan tanaman padi
  4. Patangkeun : Meratakan seluruh permukaan tanah (bagian sawah) yang belum rata
  5. Sebar : Menumbuhkan bibit padi pada persemaian (membibitkan awal)
  6. Tandur : Menanam bibit padi yang sudah tumbuh setelah sebar
  7. Ngabungkil : Memberikan sedikit pupuk kimia pada tanaman (TSP dan Urea) agar tanaman tumbuh bagus   Ngoyos II : Membersihkan tanaman pengganggu dan gangguan rumput yang menghambat  pertumbuhan tanaman padi.
  8. Babad : Membersihkan rumput atau tanaman penganggu di pematang sawah
  9. Nunggu-Dibuat : Menjaga padi yang sudah tumbuh dari gangguan
  10. Dibuat : Panen tanaman padi yang sudah matang 
  11. Ngalantai : Menjemur padi setelah dipanen
  12. Mocong : Mengikat padi dari jemuran sebelum dimasukan ke leuit (lubung)
  13. Asup Leuit : Memasukan padi yang sudah kering dari jemuran
  14.  Nganyaran : Selamatan untuk padi yang baru dipanen, dan memasak padi menjadi nasi yang panen pada tahun tersebut.

b. Ngahuma

Bagi warga kasepuhan, kata  huma  berarti  imah  (’rumah dalam bahasa Indonesia). Hal tersebut sesuai dengan  arti kata tersebut dalam bahasa Sunda. Dalam pandangan demikian, maka rumah  bagi warga kasepuhan bukan semata-mata untuk tidur tetapi merupakan sumber utama kehidupan rohani dan jasmani
(Adimihardja, 1992). RMI (2006) menuliskan bahwa tahapan-tahapan  ngahuma  adalah sebagai berikut : 
  1. Nebang : Membersihkan lahan dari tanaman yang tumpuh pada lahan yang akan di jadikan huma 
  2. Ngaduruk : Membakar bekas-bekas tanaman yang ditebang pada lahan yang akan dijadikan huma tetapi menunggu sampai kering sisa-sisa tanaman tersebut
  3. Ngaseuk : Menanam padi pada lubang-lubang yang telah disediakan dengan menggunakan alat aseuk (kayu dengan ukuran sebesar kepalan tangan dengan ujungnya diruncingkan)
  4. Ngored kahiji : Membersihkan tanaman pengganggu yang dapat menghambat pertumbuhan padi huma (Tahap Pertama)
  5. Ngored Kadua : Membersihkan tanaman pengganggu yang dapat menghambat pertumbuhan padi huma (Tahap Kedua) 
  6. Panen/Dibuat : Memanen tanaman padi yang sudang matang atau layak untuk diambil padinya.

Aturan Mengenai Lembur (Pemukiman)

Lembur pada dasarnya sama dengan  lahan garapan, akan mengalami penambahan luas atau membentuk  lembur baru seiring dengan penambahan jumlah penduduk. Di Wewengkon Kasepuhan Cibedug ada konsep yang dikembangkan dalam perencanaan penambahan atau pembentukan  lembur baru. Yaitu dengan mengacu kepada ciri alam yang sudah ada yang disebut Tukuh (ciri cadangan kampung). Tukuh merupakan ciri cadangan kampung yang sebelumnya telah ditentukan oleh leluhur sebelum warga kasepuhan menempati wewengkon. 

Selain itu juga harus memperhatikan letaknya. Yaitu tidak boleh lebih timur dari area  Karamat  (Situs Cibedug). Hal ini sebagai tanda penghormatan terhadap  Karamat  (Situs Cibedug). Warga percaya bilamana membuat rumah disebelah timur Karamat  (Situs Cibedug) akan  kabendon  (mendapat sanksi dari
leluhur). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah konstruksi rumah tidak boleh berbentuk  Tutup  Sangku, akan tetapi bentuk rumah harus berbentuk  Babalean, Gado Bangkong. Atap rumah tidak terbuat dari genting, melainkan menggunakan daun patat, ijuk, kirey, dan daun tepus. Hal ini sesuai dengan kepercayaan mereka bahwa tanah adalah tempat berpijak dan harus senantiasa  dibawah. Maka tidak boleh menggunakan genting yang terbuat dari tanah untuk disimpan diatas. Hal ini akan menyebabkan  kabendon. Konstruksi rumah dan atapnya dapat dilihat pada

Selain itu juga dalam pembuatan rumah tidak dapat menggunakan pohon rasamala (Altingia excelsa)  dan pohon yang bergetah.  Pohon ini dipercayai   merupakan pohon yang istimewa. Pohon rasamala merupakan pohon yang dominan di TNGHS. Dengan tidak  memanfaatkannya untuk kepentingan pembuatan rumah menjadikan kawasan TNGHS aman dari penebangan pohon khususnya untuk jenis rasamala dan pohon-pohon bergetah lainnya. 

Aturan Mengenai Masyarakat/Penduduk

Yang termasuk kedalam komunitas masyarakat adat kasepuhan cibedug adalah incu putu atau turunan dari adat Kasepuhan Cibedug. Namun, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug termasuk masyarakat adat yang cukup terbuka bagi masyarakat yang lainnya. Masyarakat  luar diperbolehkan menjadi komunitas masyarakat adat dengan kesepakatan  bersama. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug juga tidak melarang adanya perkawinan antara masyarakat adat dengan non adat. Dengan ketentuan bahwa setelah menjadi bagian dari komunitas masyarakat adat tersebut harus mentaati aturan adat yang dianut masyarakat setempat.  

Aturan mengenai Hak Atas Tanah

Dalam hal kepemilikan tanah/lahan pada masyarakat adat kasepuhan cibedug tidak mengenal kepemilikan individu. Tanah dimiliki secara komunal. Adapun mesyarakat hanya mempunyai hak untuk memanfaatkan sesuai dengan kesepakatan bersama. Lahan (hak pemanfaatan) hanya bisa dijual kepada sesama masyarakat adat kasepuhan. Biasanya disebut ”Ngajual jasa”.  

Penetapan hak pemanfaatan dilakukan secara musyawarah. Masyarakat adat yang membutuhkan lahan untuk kepentingan pemukiman maupun lahan garapan harus mengajukan terlebih dahulu kepada sesepuh. Penentuan luas dan letak lahan ditentukan secara musyawarah antara pihak yang mengajukan dengan
para sesepuh/baris kolot. Penentuan luasan biasanya menggunakan prinsip umum yaitu ”saeutik mahi loba nyesa”. Artinya luas lahan disesuaikan dengan kebutuhan pihak yang mengajukan dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh sesepuh. Adapun dalam penentuan letak lahan yang  terpenting harus berada pada lahan yang dialokasikan untuk leuweung cadangan. Kepastian letak lahan didasarkan pada keberadaan tukuh sebagai cirinya. 

Satu hal yang sampai saat ini kerap terabaikan dalam akomodasi kebijakan politik konservasi alam adalah konservasi tradisional. Masyarakat tradisional bersama nilai dan pranata sosialnya yang telah berumur ratusan bahkan ribuan tahun sebenarnya sarat dengan kearifan  kultural dalam kaitannya dengan alam.
Kearifan itu sudah menjadi budaya yang praktiknya tidak  terpisahkan dengan nilai-nilai hidup sehari-hari mereka. Prinsip-prinsip dan substansi konservasi sebenarnya telah melekat di dalam masyarakat tradisional yang belum banyak terpengaruh oleh ”ideologi industri” (Wiratno dkk.,2004)

Beberapa nilai yang terdapat dalam masyarakat adat Nusantara, menurut kesimpulan Prof. Van Vollenhoven, justru dapat dipakai sebagai dasar hukum yang baik dalam kehidupan di masyarakat, antara lain : kepentingan masyarakat yang lebih utama daripada kepentingan individu, hubungan yang erat antara manusia dengan tanah, pemikiran religius yang bersifat transedental yang memenuhi segala sesuatu, serta suasana  kekeluargaan yang selalu berusaha menyelesaikan segala perselisishan dengan musyawarah, damai dan tenggang rasa (Wiratno dkk.,2004).


Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))