A. Kondisi Umum
Kasepuhan
Cisitu adalah salah satu dari lima belas (15) Kasepuhan yang tergabung
dalam Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI) ada di Kawasan Pengunungan
Halimun. Kasepuhan Cisitu masuk terdaftar menjadi anggota Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sejak tahun 1999.
Konsep
pengelolaan wilayah Kasepuhan Cisitu mengacu pada kebijakan adat,
dimana antara hutan garapan dan tutupan harus sebanding. Secara umum, 50
% wewengkon (wilayah adat) Cisitu masih berupa tutupan hutan yang masih
alami. Konsep inilah perlu dilindungi dan dipertahankan keberadaannya.
Keharmonisan
dalam menjalankan pemerintahan tercermin dari pembagian peran, dimana
untuk urusan kedalam (adat) lebih dominan digunakan sistem pemerintahan
adat. Untuk urusan luar menggunakan sistem pemerintahan desa.
Secara
administrasi Kasepuhan Cisitu berada di Kecamatan Cibeber, Kabupaten
Lebak, Propinsi Banten. Ada dua desa yang masuk dalam wilayah adat
Cisitu yaitu; Desa Kujangsari dan Situmulya. Infrastruktur Kasepuhan
akhir-akhir ini berkembang dimana mempunyai beberapa fasilitas umum
seperti; Jalan, saluran air, listrik, gedung sarana pendidikan, Mesjid,
Kantor Desa, Rumah Adat dan Pendopo Adat dan perumahan yang cukup mapan.
Populasi
warga adat Kasepuhan Cisitu pada tahun 2010, mencapai 676 kepala
keluarga (kk) dengan 2.191 Jiwa. Jumlah warga yang laki-laki adalah
1.111 jiwa. Matapencaharian utama masyarakat adat bertani. Khusus hasil
pertanian, padi, tidak diperjualbelikan. Untuk hasil komoditi lainnya
boleh dijual. Kegiatan pertanian sangat produktif dikarenakan lahan yang
masih subur dan sangat membantu dalam ketahanan pangan masyarakat
Cisitu.
Kasepuhan
Cisitu saat ini terus melakukan upaya peningkatan kehidupan adatnya
menuju lebih baik. Untuk menghadapi era yang terus berkembang, komunitas
adat ini terus memperkuat ekstensinya sebagai warga adat. Salah satu
ciri yang menegaskan eksistensi tersebut adalah perjuangan untuk
mendapatkan hak-haknya, yang telah sampai pada pengakuan yang diberikan
oleh Pemerintah Daerah Banten dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bupati
(SK Bupati) tentang pengakuan keberadaan dan wilayah Cisitu. Selain
itu, sarana dan prasarana adat (berupa rumah adat dan pendopo) mereka
bangun atas bantuan pemerintah pada tahun 2009 diatas tanah seluas 4500
m3.
Fasilitas
adat tersebut terdiri dari satu buah masjid yang difungsikan sebagai
tempat ibadah (acara keagamaan), satu pendopo tempat musyawarah adat,
rumah adat yang berfungsi sebagai tempat ritual adat, dan 5 buah rumah
inap yang difungsikan sebagai tempat menginap bagi tamu yang datang.
Masyarakat
adat Cisitu mempunyai prinsip yaitu; Tilu sapamulu, dua sakarupa, nu
hiji eta-eta keneh. Filosofi tersebut merupakan penerimaan pandangan
terhadap pola hidup yang harmonis dan sinergis antara adat, agama dan
negara. Mesjid sebagai simbol Agama, Pendopo sebagai simbol Negara, dan
Rumah adat sebagai simbol Adat. Lima buah rumah inap juga mencerminkan
dasar agama (5 rukun islam), Dasar Negara (Pancasila) dan Adat (yaitu
lima dasar; Pangeran sembaheun, Nabi Tuladeun, Karuhun Tututeun, Makhluk
Binaeun, Negara Olaheun).
Disisi lain, cerminan ini merupakan simbol keharmonisan antara adat, agama, dan negara. Menjalankan lalampahan
(asas / dasar) tetap mengacu pada kebenaran dari lima pilar tersebut.
Selama Lalampahan tersebut dijalankan dengan semestinya pasti akan
mewujudkan kebenaran sejati. Masyarakat akan sejahtera. Karena
masyarakat adat cisitu percaya bahwa ketiga pilar tersebut mempunyai
visi yang sama, “Nitah bener, nyaram salah” yang artinya mengintruksikan yang benar dan melarang yang salah.
B. Sejarah Singkat
Kasepuhan
Cisitu telah ada sejak tahun 1621. Pada mulanya, Kasepuhan Cisitu
berasal dari daerah Cadas, Bogor, yang merupakan keturunan Mbah Eyang
Maharaja Ratu Haji .
Sejarah seren taun (upacara
pesta panen) pertama kalinya dilakukan pada tahun 1685 di Kasepuhan
Cisitu. Hal ini merupakan bukti sejarah, bahwa sejak dahulu struktur
adat Cisitu sudah ada dalam pengelolaan wilayah dan warga adatnya.
Karuhun
atau sesepuh Kasepuhan Cisitu, Mbah Eyang Maharaja Ratu Haji, dari
Cadas kemudian pindah ke daerah Cisungsang, yang kemudian mendirikan dan
memimpin Kasepuhan Cisungsang. Kemudian, Beliau memiliki delapan (8)
orang anak yang merupakan cikal bakal terbentuknya 8 Kasepuhan di
Kawasan Halimun (yaitu; Ciptagelar, Cisungsang, Cisitu, Citorek, Bayah,
Cicarucub, dan Ciherang).
Mbah
Eyang Maharaja Ratu Haji, kemudian pindah kedaerah Cisitu dan
mendirikan Kasepuhan Cisitu. Sementara Kasepuhan Cisungsang dipimpin
anaknya yang bernama Uyut Sailun. Setelah beliau meninggal, kepemimpinan
Kasepuhan Cisitu dipimpin oleh putranya yang bernama Olot Ruman / Aki
Buyut Ruman yang mempunyai nama lengkap Harumanjaya (kurang lebih
sekitar tahun 1600an). Harumanjaya lebih akrap dipanggil dengan sebutan
Uyut Jenggot.
Secara umum, silsilah garis keturunan masyarakat adat di kasepuhan Banten Kidul, dikenal dengan 3 kelompok besar yaitu; Pangawinan Guru Cucuk Pengutas Jalan, Gajah Buara Pangawinan, dan Pancer Pangawinan. Kasepuhan Cisitu termasuk ke dalam kelompok Pangawinan Guru Cucuk Pangutas Jalan yang mempunyai fungsi sebagai pembuka jalan (tukang mawa obor) pada waktu Kasepuhan-Kasepuhan lain berpindah tempat[1]. Guru artinya orang tua, Cucuk artinya runcing atau tajam, Pangutas artinya orang yang mempunyai hak untuk memulai kegiatan atau perintis, Jalan
artinya jalan atau jalur yang akan dilalui. Dengan demikian, Kasepuhan
Cisitu mempunyai peran sebagai orang tua yang memulai, perintis dan
pembuka jalan bagi kasepuhan lainnya. Pada masa sekarang, peran Guru
Cucuk ini diterjemahkan kedalam bentuk perijinan dan restu setiap akan
memulai acara ritual adat.
Sejak
tahun 1988 sampai sekarang, koordinator Pemangku Adat Kasepuhan Cisitu
dipimpin oleh H. Moch Okri, yang merupakan pewaris / keturunan yang ke
VIII sampai sekarang. Pada dasarnya, Kasepuhan Cisitu memiliki empat
kaolotan; yaitu Olot Okri, Olot Marja, Olot Ata dan Olot Enjam. Dari
hasil kesepakatan Olot Okri yang dipilih untuk menjadi koordinator
Kaolotan. Selain memimpin adat, bagi masyarakat Cisitu kaolotan ini juga
merupakan pimpinan Tatanen (pimpinan Tani) menentukan waktu dimulainya
bertani disawah.
C. Wewengkon (Wilayah adat) Cisitu
Wilayah adat atau yang disebut sebagai Wewengkon Kasepuhan
Cisitu terletak di sebelah selatan pegunungan Halimun. Secara
administratif Negara wewengkon ini terletak di Kecamatan Cibeber,
Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Batas-batas wewengkon Kasepuhan Cisitu
adalah sebagai berikut;
- Sebelah Utara : Gunung Sangga Buana (Kasepuhan Urug), Bogor
- Sebelah Timur : Gunung Palasari (Kasepuhan Ciptagelar)
- Sebelah Selatan : Muara Kidang (Kasepuhan Cisungsang)
- Sebelah Barat : Gunung Tumbal (Kasepuhan Cisungsang)
Secara
fisiografi, wewengkon Kasepuhan Cisitu merupakan wilayah perbukitan
terjal hingga pegunungan. Wilayah ini dibatasi oleh lembah sungai yang
berbentuk V dengan dasar yang berbatu. Kemiringan diatas 40 % dengan
temperatur rata-rata harian antara 20 – 30 derajat Celsius.
Berdasarkan
pemetaan partisipatif (Bulan Januari 2010), yang difasilitasi oleh
AMAN, JKPP dan FWI, luas wewengkon Kasepuhan Cisitu adalah 7.200 Hektare[2]. Sebelumnya, para kaolotan hanya memperkirakan luas wewengkon tersebut sekitar 5.000 hektare saja. Pemetaan menggunakan alat Global Position System (GPS) dan Citra Land Sat.
D. Sistem Pengelolaan Wewengkon Cisitu
Kasepuhan
Cisitu mempunyai kearifan dalam mengelola wilayah adatnya. Mereka
mempunyai pola tataruang yang diatur dengan aturan adat. Dalam
pengelolaanya masyarakat adat Cisitu memisahkan antara lahan garapan dan
lahan hutan. berdasarkan kearifan tradisional, mereka membagi wewengkon
menjadi;
- Hutan
Titipan; yaitu kawasan hutan yang tidak boleh diganggu atau dirusak.
Kawasan ini biasanya dikeramatkan. Secara ekologis, kawasan ini juga
merupakan kawasan yang sangat penting dalam menjaga lingkungan dan
merupakan sumber kehidupan.
- Hutan
Tutupan; yaitu kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk kepentingan
kepentingan masyarakat. Umumnya, pemanfaatannya secara terbatas yaitu
untuk pemanfaatan hasil hutan non-kayu, tanaman obat, rotan, madu.
Selain itu, kawasan ini juga berfungsi sebagai penjaga mata air.
- Lahan Garapan / Bukaan; yaitu kawasan yang dimanfaatkan untuk pertanian (sawah), kebun, pemukiman, dan sarana lainnya.
E.1 Pola Pertanian
Sebagian besar incu putu
(warga adat) Kasepuhan Cisitu, sekitar 95 %, mempunyai matapencaharian
sebagai petani atau bertani. Selain itu ada masyarakat yang bekerja
sebagai pedagang, pengawai pemerintahan, guransil, sopir angkutan umum,
dan tukang ojek.
Bertani
selaian sebagai matapencaharian juga merupakan warisan leluhur mereka
(adat). Seperti yang tertuang dalam falsafah Kasepuhan sebagai berikut; “Pare teh kudu dipusti-pusti, dipusti-pusti hartina pare teh kudu dipelihara lain mustikeun siga ka pangeran”.
Dalam bertani, warga adat mengikuti aturan adat. Mereka hanya akan
menanam padi jika sudah mendapatkan ijin dari Kaolotan atau pemimpin
adat (waktu menanam ditentukan oleh ketua adat). Selain itu, mereka juga
mengikuti aturan masa panen, yaitu satu tahun kali. Menurut Abah Okri,
masa panen diberlakukan satu tahun sekali, karena melihat hasilnya cukup
dan bahkan lebih (disimpan dalam leuit / lumbung padi) untuk dimakan
selama satu tahun. Khusus untuk padi, masyarakat di Kasepuhan Cisitu
tidak boleh menjualnya.
Dalam
bertani padi, warga Kasepuhan Cisitu mempunyai dua sistem pertanian
yaitu Sawah dan Huma. Pertanian Sawah adalah menanam padi di lahan basah
(ada airnya), sedangkan Huma atau Ngehuma adalah menanam padi di lahan
yang kering. Jenis padi yang dipakai adalah padi lokal, untuk padi sawah
yaitu pare leutik dan untuk padi huma yaitu pare gede.
Menurut Yoyo Yohenda, terdapat 27 jenis padi lokal yang ditanam oleh
masyarakat Cisitu yaitu; 15 jenis pare, 6 jenis cere, 2 jenis hawara dan
4 jenis ketan. Rata-rata pendapatan per hektar 4 – 5 ton gabah kering
giling. Selain itu terdapat 3.800 lumbung padi, yang masing-masing
lumbung berisi antara 500 – 1.000 pocong padi. Satu pocong padi sekitar
3,5 kg.
Penanaman
padi di sawah mengandalkan air yang berasal dari sungai yaitu sungai
Cibanteng, Muhara Tilu, dan Cikidang juga dari mata air yang berasal
dari Leuweung Titipan, sedangkan di huma mereka hanya mengandalkan air
yang berasal dari hujan (tadah hujan). Wewengkon Cisitu memiliki areal
persawahan yang luas, sekitar 720 Ha dengan 40 blok.
Setelah
masa panen padi selesai, biasanya areal sawah dimanfaatkan sebagai
kolam ikan (memelihara ikan) sampai waktu tanam berikutnya. Hal ini
merupakan kearifan lokal, karena menurut masyarakat selain ikan untuk
kebutuhan lauk-pauk, sawah akan lebih mudah diolah kembali pada saat
menjelang musim tanam.
Secara umum, kegiatan pertanian di sawah adalah sebagai berikut;
- Numpang goleng ; yaitu kegiatan membuat pematang sawah
- Ngabaladah ; yaitu kegiatan menyiangi lahan
- Ngambangkeun ; yaitu mengisi lahan dengan air/merendam
- Ngangler ; yaitu membersihkan permukaan lahan dari gulma yang tumbuh sebagai persiapan untuk tebar
- Tebar ; yaitu membuat persemaian padi dengan cara menebar untaian padi
- Tandur ; yaitu menanam padi
- Ngarambet yaitu membersihkan gulma yang ada di sawah
- Babad galeng ; yaitu membersihkan rumput di pematang sawah
- Dibuat ; yaitu memanen (Panen)
- Ngalantay ; yaitu menjemur padi di lantayan
- Mocong pare yaitu; mengikat padi menjadi pocong
- Ngunjal ; yaitu mengangkut padi ke leuit/lumbung
E. 2 Pola Perkebunan
Selain bertani masyarakat Kasepuhan Cisitu mempunyai sistem berkebun yaitu dikenal dengan Kebun Dudukuhan.
Pola ini merupakan pemanfaatan lahan bekas ladang yang ada disekitar
pemukiman dan ditanami pohon, buah-buahan, kayu-kayuan, bambu, aren,
rumbia atau kirai dan tanaman sayuran yang hasilnya digunakan untuk
kebutuhan sehari-hari dan dijual. Menurut Yoyo Yohenda, masyarakat adat
di Kasepuhan Cisitu memanfaatkan kayu yang ada di kebun ini untuk
kebutuhan sehari-hari, seperti membuat rumah, sehingga hutan titipan dan
hutan tutupan tetap terjaga keasriannya. Dari hasil kebun dudukuhan,
cukup untuk memenuhi kebutuhan kayu tanpa harus mengambil dari hutan.
Tahapan
dalam berkebun, alur berkebun, umumnya menggunakan langkah-langkah
sebagai berikut; Nyacar, Ngebakar, Menanam, Ngeberak, Diremui atau
menggemburkan tanah. Luas kebun dudukuhan kurang lebih sekitar 1.500
hektare. Areal kebun tersebar di 10 blok. Berikut beberapa lokasi kebun
dudukuhan atau lahan garapan[3], yaitu;
- Blok Manapa
- Blok Cikabuyutan
- Blok Cisuren
- Blok Cibitung
- Blok Pasir Jeungjing
- Blok Pasir Manggu
- Blok Ciater
Pada mulanya, ditahun pertama penanaman kebun, umumnya diselingi dengan tanaman sela berupa padi (memanfaatkan jarak tanam dari tanaman / pohon di kebun). Tanaman sela ini
akan dihentikan saat tanaman atau pohon intinya di kebun sudah mulai
besar. Hal ini untuk menjaga kualitas dari tanaman atau pohon inti
tersebut.
E.3 Sistem Pengelolaan Air
Wewengkon
Kasepuhan Cisitu memiliki topografi berbukit dengan ketinggian sekitar
800 – 12000 mdpl dengan curah hujan yang tinggi. Wilayah ini dikelilingi
oleh gunung-gunung yaitu Gunung Cisesepan, Gunung Palasari, Gunung
Bedil dan Gunung Halimun. Selain itu, juga dikelilingi oleh
sungai-sungai diantaranya sungai Cikidang, Sungai Muhara Tilu, dan
Sungai Cibanteng.
Dengan
kondisi tersebut, sumberdaya air di Cisitu melimpah, digunakan untuk
keperluan sehari-hari. Pemanfaatan sumberdaya air di Cisitu diantaranya
untuk keperluan rumah tangga, pengairan sawah, pengairan kolam ikan dan
keperluan hidup lainnya. Kedepan, sumberdaya ini pada masa mendatang
akan dimanfaatkan sebagai sumber tenaga listrik tenaga air (microhydro).
E. Ritual (nilai-nilai) Adat
Warga
Adat Kasepuhan Cisitu masih memegang nilai-nilai atau aturan adat yang
sekian lama hidup dan dititipkan oleh karuhun atau leluhur mereka.
Mereka sangat kuat menjalankan aturan adat dalam kehidupan sehari-hari
dan dijaga sampai hari ini.
Kasepuhan
Cisitu sampai saat ini juga masih menjalankan ritual atau upacara adat
warisan karuhun mereka. Beberapa upacara / ritual adat yang berhubungan
dengan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup adalah sebagai
berikut;
- Prah-prahan atau Sedekah bumi (dilakukan setiap satu (1) windu atau 8 tahun sekali)
- Kaul yaitu ritual perayaan saat memulai tanam padi
- Prah-prahan acara ngajiwa / cacah jiwa warga kasepuhan
- Nyebor yaitu ritual mensucikan perilaku manusia yang diadakan satu tahun sekali
- Nyebor Pusaka yaitu ritual mensucikan pusakan setiap tanggal 14 maulud
- Nganyaran yaitu upacara untuk memulai atau menggunakan padi baru
- Netepkeun Sri Ka Leuit yaitu menaruh padi di lumbung, ritual untuk menitipkan supaya rejeki dan penghasilan (khususnya panen padi) akan berhasil dan Leuit (lumbung) selalu terisi.
- Pongokan yaitu acara balik buku, tahun sani bulan. Kegiatan diadakan pada saat menjelang upacara seren taun, 3 hari setelah acara prah-prahan. Pada masa ini masyarakat libur atau tidak melakukan kegiatan bertani maupun berladang. Warga adat (incu putu) melaporkan perkembangan kehidupannya (termasuk kekayaan, hasil panen, jumlah anggota keluarga dan lain-lain).
- Seren Taun, merupakan acara tertinggi yang menyempurnakan semua acara ritual adat dikasepuhan. Acara seren tahun bukan hanya sekedar pesta panen, melainkan merupakan sebuah ritual untuk evaluasi dan refleksi bagi warga adat kasepuhan. Istilah dalam kasepuhan “Nyoreang Alam Katukang, Nyawang Lampah nu Bakal di Sorang” yang artinya melihat kembali semua usaha dan perbuatan yang telah dilakukan ditahun sebelumnya, dan melihat peluang dan merencanakan sesuatu yang harus dilakukan pada masa yang akan datang.
F. Kelembagaan Adat
Kasepuhan
Cisitu merupakan lembaga adat memiliki struktur lembaga sendiri untuk
menjalankan aturan dan adat istiadat yang mereka percayai dari
leluhurnya. Struktur kelembagaan adat di Kasepuhan Cisitu sudah ada
sejak sekitar tahun 1621. Struktur lembaga adat ini merupakan tugas yang
diturunkan secara turun temurun kepada anak dan incu putu (cucu), kecuali Tutunggul lembur (Kasepuhan) yang dipilih berdasarkan wangsit yang diterima.
Konsep
yang dituturkan secara turun temurun yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan hidup (wewengkon) dan menata kehidupan warga adat (incu putu). Kasepuhan Cisitu mempunyai konsep sebagai berikut; “tilu sapamulu, dua sakarupa, nu hiji eta-eta keneh”, yang
artinya adalah “tiga sejenis, dua yang serupa, satu yang itu-itu juga”.
Konsep ini merupakan prinsip atau aturan harus salaing sinergi dan
memiliki harmonisasi dalam masyarakat.
Tilu sapamulu
adalah tiga unsur penegak kebijakan yang harus diselaraskan dalam
penerapannya. Masyarakat adat Kasepuhan Cisitu menganut hukum dari tiga
unsur tersebut yang terdiri dari Nagara, Syara dan Mohaka (negara, agama, dan adat). Ketiga unsur ini jika dijalankan dengan benar maka masyarakat akan sejahtera, tentram dan damai.
Secara kelembagaan adat, struktur pemerintahan yang ada di Kasepuhan Cisitu adalah sebagai berikut;
Selain
struktur lembaga adat tersebut, terdapat beberapa orang yang mempunyai
peranan penting dalam jalannya roda Kasepuhan. Berikut adalah perangkat
yang memiliki tugas tertentu : Palawari, Canoli, Tukang para, Juru
leuit, Juru seni, Tukang ngala lauk cai.
(Sumber: http://adatnusantara.blogspot.com/2010/12/kasepuhan-cisitu.html)
Posting Komentar