Oleh Masnah/Pang Tjien Nio
Aih mas muda jangan dipalu
Mas muda jangan dipalu
Ya kalau dipalu jadi Suasa
Aih badan muda jangan terlalu
Badan muda jangan terlalu
Ya kalau terlalu jadi binasa
Ketika terlahir di desa Bolang, Rajeg, Tangerang, pada 1929, dari pasangan
ayah Tionghoa dan ibu Melayu, nama saya Pang Tjien Nio. Tetapi, sekarang,
banyak orang memanggil saya dengan nama Masnah. Saya pernah menikah tujuh kali.
Dari pernikahan-pernikahan itu, saya punya 4 anak, 24 cucu dan 3 cicit. Sekarang,
saying tinggal di Sewan kongsi, kelurahan Mekar Sari, Neglasari, Kota
Tangerang.
![]() |
[KQ/Foto: courtesy "dua PEREMPUAN |
Sampai
dengan sekarang, saya masih menggeluti cokek, walaupun hanya tampil jika ada
yang minta. Selebihnya, saya lebih banyak di rumah karena umur saya yang tidak
memungkinkan mencari orderan.
Walau
begitu, saya senang telah menjadi wayang cokek. Sekurangnya, cokek telah
membuat saya mengenal banyak orang. Misalnya, cokek telah membawa saya pada banyak orang asing yang tertarik dengan
dengan kesenian tradisional Tangerang ini.
Saya ingat betul Om Phillip yang sekarang ada di London. Dulu, dia begitu
perhatian. Saat saya menari dan menyanyi, baik lagu-lagu sayur atau lagu-lagu
dhalem, dia merekam saya. Katanya, hasil rekaman itu akan dibawa ke Amerika. Setelah
kepulangannya ke Amerika, dia member tugas pada saya untuk melatih anak muda yang mau belajar cokek. Saya mendapat
bantuan uang dari Om Phillip sebanyak 5 juta per bulan selama setahun untuk
menghidupi cokek dan keluarga saya.
Ada juga
wartawan dari jepang dan belanda yang juga menaruh perhatian terhadap cokek. Pokoknya, banyaklah. Tapi kalau
ditanya, apa ada aparat pemerintah yang selama ini memperhatikan, saya hanya
bisa geleng kepala. Sampai akhirnya belum lama ini, saya kedatangan tamu dari
Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Banten, bapak Sulaeman Effendi
dan ketua umum Dewan Kesenian Tangerang (DKT), Mas Wowok. Mereka mengatakan
tertarik dengan cokek dan akan berusaha membantu saya melestarikan cokek.
Saya sangat
sedih, masyarakat Tangerang banyak yang tidak kenal dengan jenis kesenian
daerahnya sendiri, terkecuali masyarakat keturunan Tionghoa di Tangerang atau
Cina Benteng. Apalagi Cokek, yang selama ini hanya orang asing saja yang
peduli.
Saya tidak
tahu sebabnya orang di luar keturunan Tionghoa tidak suka dengan dengan Cokek. Jika
alasannya mengandung hal-hal yang tidak sopan alias porno, itu memang saya
akui. Dulu saya juga seperti racun bagi banyak lelaki. Ketika mengibing, saya
bisa memabukkan tiap pengibing dengan tarian dan nyanyian saya. Mereka berebut
mendampingi saya menari. Ada yang nyawer lewat mulutnya. Tak jarang pula yang
menyelipkan uangnya ke balik kutang atau bagian tubuh yang lain.
Cokek
sebenarnya berarti menyanyi. Dulu, saya juga memulainya dengan menyanyi. Tapi,
kemudian saya tambah dengan tarian. Sekarang saya lebih banyak menyanyi karena
kondisi tubuh saya tidak memungkinkan saya menari.
Kalau
saya tidak menyanyi dan menari, siapa lagi yang akan melestarikan cokek? Sekarang
saja, hanya saya yang bisa menyanyikan lagu-lagu dalem. Lagu dalem memang
berbeda dengan lagu sayur atau lagu gambang kromong biasa. Dulu, untuk bisa
menyanyikan lagu dalem Poa Li Tan, misalnya, saya harus berlatih tiga bulan. Saya
harus hafal setiap kata-kata, irama dan pakem-pakem lainnya.
Menari dalam cokek, juga tidak sembarangan menari. Menari dalam cokek harus
sesuai dengan lagunya. Lain lagu, lain pula cara menarinya. Belum lagi
pakaiannya. Tapi sekarang, saya lihat banyak wayang cokek menari secara
sembarangan. Mereka lebih seperti joged dangdut. Pakaian mereka ketika menari
pun alakadarnya. Hanya pakai celana jeans dan kaos ketat. Tidak lagi memakai
baju kebesaran cokek yang indah.
Kalau
semua itu tidak dilestarikan, suatu saat, kita tak akan melihat cokek lagi. Untung
saja, walaupun saya tak mewariskannya kepada anggota keluarga saya, sekarang,
saya telah punya penerusnya, yakni Yuli dan Lia. Mereka masih muda, tapi sudah
hapal pakem-pakem cokek.
Sekarang,
selain sesekali menyanyi di sana-sini, yang bisa saya lakukan hanya melatih para
penerus saya supaya cokek tidak punah. Tapi, upaya saya melatih mungkin akan
percuma kalau tak ada yang peduli dengan keberlangsungan cokek ini. Khususnya dari
kalangan masyarakat Tangerang. Saya juga ingin mengenalkan masyarakat sini
dengan cokok, perhatian dan kerjasama yang ditawarkan beberapa pihak, termasuk
pemerintah, cukup melegakan hati saya. Tapi, ini juga harus disertai
kesungguhan semua pihak, khususnya seniman dan pemerintah sini. Saya juga tak
mungkin melakukannya sendiri. Saya hanya ingin bertemu Om Phillip-om Phillip
lainnya. Itulah mimpi saya yang mungkin terlalu muluk.
Tulisan ini
disarikan Mahdiduri dari wawancara Tim Panitia Semiloka ” Potensi Budaya
dan Pariwisata Kota Tangerang ” dengannya. (Sumber : Jurnal
Cisadane/Juni/2005)
_______________________________________________________________________
Pendar-pendar lampion Merah
Usianya 82 tahun. Sebagian giginya sudah ompong. Suaranya bergetar
dimakan usia. Namun semangat Masnah tampak masih menyala-nyala. Padahal
wanita bernama asli Pang Tjin Nio ini sudah mulai menyanyi dan menari
cokek sejak berusia 14 tahun. ”Dia satu di antara dua Wayang Cokek yang
menguasai Gambang Kromong klasik yang masih tersisa,” ungkap David Kwa,
pengamat budaya peranakan Tionghoa di Indonesia. ”Gambang Kromong klasik
sebentar lagi tinggal sejarah,” ujar David. ”Sebab Gambang Kromong
sekarang sudah mengarah ke dangdut.” David termasuk yang khawatir
sejumlah budaya dan kesenian asal Tionghoa akan terancam punah jika
tidak mendapat perhatian yang layak. ”Kami memang harus mengikuti selera
penonton,” ujar Siauw Ong Gian, pemimpin Gambang Kromong Sinar Jaya.
Pria asal Benteng, Tangerang, ini mengaku anak petani jebolan kelas tiga
SD dan sudah bermain gambang kromong sejak usia belasan. Dulu dia harus
berjalan berhari-hari atau naik truk tua untuk pertunjukkan keliling.
Bahkan bersama anggota grupnya, orang-orang Tionghoa asal Benteng,
mereka menderita karena larangan pentas pada jaman Orde Baru. Hampir
empat puluh tahun kesenian Tionghoa mati suri karena adanya Inpres No.14
tahun 1967 yang melarang tampilnya kesenian Tionghoa di ruang-ruang
publik. ”Kami terpaksa latihan dan bermain sembunyi-sembunyi,” ungkap
Gak Tjay, pembina perkumpulan musik Twa Koo Tui asal Semarang yang konon
tinggal satu-satunya di Indonesia. Delapan tahun merantau ke Jerman dan
Eropa, Gak Tjay mengaku akhirnya kembali ke Semarang untuk menghidupkan
kembali kesenian peninggalan kakeknya itu. ”Dulu kami takut sekali.
Sekarang bahkan kalau ada yang sunatan, kami diundang.” Salah satu tamu
unik yang tampil di Kick Andy kali ini adalah Sugiyo Waluyo. Pria
setengah baya ini asli Jawa Timur. Walau bukan keturunan Tionghoa, dia
terampil memainkan boneka Wayang Potehi di tangannya. Juga ketika dia
harus menembang dalam bahasa Hokian. ”Saya belajar dari orang Tionghoa
yang jadi dalang,” ujarnya. Namun Sugiyo mengaku anaknya, yang lulusan
SMA, walau juga terampil memainkan Wayang Potehi, tidak terlalu antusias
untuk meneruskan profesi bapaknya. ”Tidak setiap minggu ada yang
nanggap,” ujarnya. Kesenian Tionghoa yang juga bangkit setelah era
reformasi adalah Opera Tio Chiu di Pangkal Pinang, Propinsi Bangka
Belitung. Sejumlah seniman tempo dulu yang tergabung dalam opera ini
mulai berkumpul dan – dengan sisa-sisa usia mereka – mulai mengadakan
pementasan. Entah sampai kapan. Sebab bagi sebagian generasi muda
Tionghoa, berkesenian seperti itu sudah dianggap kuno dan tidak menarik.
Akankah budaya dan kesenian Tionghoa di Indonesia akan punah?
Pertanyaan itu yang hendak ditanyakan dalam episode yang diangkat Kick
Andy kali ini.
(sumber: http://kickandy.com/theshow/1/1/150/read/Pendar-pendar-lampion-Merah.html)
Posting Komentar