.

MASNAH

Oleh Masnah/Pang Tjien Nio

Aih mas muda jangan dipalu
Mas muda jangan dipalu
Ya kalau dipalu jadi Suasa
Aih badan muda jangan terlalu
Badan muda jangan terlalu
Ya kalau terlalu jadi binasa

Ketika terlahir di desa Bolang, Rajeg, Tangerang, pada 1929, dari pasangan ayah Tionghoa dan ibu Melayu, nama saya Pang Tjien Nio. Tetapi, sekarang, banyak orang memanggil saya dengan nama Masnah. Saya pernah menikah tujuh kali. Dari pernikahan-pernikahan itu, saya punya 4 anak, 24 cucu dan 3 cicit. Sekarang, saying tinggal di Sewan kongsi, kelurahan Mekar Sari, Neglasari, Kota Tangerang.
[KQ/Foto: courtesy "dua PEREMPUAN
            Cokek sudah saya geluti sejak umur 14 tahun. Bagi saya, waktu yang telah lewat terlalu sedikit dibandingkan dengan kemauan saya untuk terus hidup bersama cokek. Dulu saya menari diiringi grup gambang kromong yang dimiliki suami saya. Hanya setelah sepeninggal suami, kehidupan kami tidak stabil, yang memaksa saya menjual peralatan gambang itu untuk menutupi kebutuhan sehari-hari keluarga saya.
Sampai dengan sekarang, saya masih menggeluti cokek, walaupun hanya tampil jika ada yang minta. Selebihnya, saya lebih banyak di rumah karena umur saya yang tidak memungkinkan mencari orderan.
Walau begitu, saya senang telah menjadi wayang cokek. Sekurangnya, cokek telah membuat saya mengenal banyak orang. Misalnya, cokek  telah membawa saya  pada banyak orang asing yang tertarik dengan dengan kesenian  tradisional Tangerang ini. Saya ingat betul Om Phillip yang sekarang ada di London. Dulu, dia begitu perhatian. Saat saya menari dan menyanyi, baik lagu-lagu sayur atau lagu-lagu dhalem, dia merekam saya. Katanya, hasil rekaman itu akan dibawa ke Amerika. Setelah kepulangannya ke Amerika, dia member tugas pada saya untuk melatih  anak muda yang mau belajar cokek. Saya mendapat bantuan uang dari Om Phillip sebanyak 5 juta per bulan selama setahun untuk menghidupi cokek dan keluarga saya.
Ada juga wartawan dari jepang dan belanda yang juga menaruh perhatian  terhadap cokek. Pokoknya, banyaklah. Tapi kalau ditanya, apa ada aparat pemerintah yang selama ini memperhatikan, saya hanya bisa geleng kepala. Sampai akhirnya belum lama ini, saya kedatangan tamu dari Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Banten, bapak Sulaeman Effendi dan ketua umum Dewan Kesenian Tangerang (DKT), Mas Wowok. Mereka mengatakan tertarik dengan cokek dan akan berusaha membantu saya melestarikan cokek.
Saya sangat sedih, masyarakat Tangerang banyak yang tidak kenal dengan jenis kesenian daerahnya sendiri, terkecuali masyarakat keturunan Tionghoa di Tangerang atau Cina Benteng. Apalagi Cokek, yang selama ini hanya orang asing saja yang peduli.
Saya tidak tahu sebabnya orang di luar keturunan Tionghoa tidak suka dengan dengan Cokek. Jika alasannya mengandung hal-hal yang tidak sopan alias porno, itu memang saya akui. Dulu saya juga seperti racun bagi banyak lelaki. Ketika mengibing, saya bisa memabukkan tiap pengibing dengan tarian dan nyanyian saya. Mereka berebut mendampingi saya menari. Ada yang nyawer lewat mulutnya. Tak jarang pula yang menyelipkan uangnya ke balik kutang atau bagian tubuh yang lain.
Cokek sebenarnya berarti menyanyi. Dulu, saya juga memulainya dengan menyanyi. Tapi, kemudian saya tambah dengan tarian. Sekarang saya lebih banyak menyanyi karena kondisi tubuh saya tidak memungkinkan saya menari.
Kalau saya tidak menyanyi dan menari, siapa lagi yang akan melestarikan cokek? Sekarang saja, hanya saya yang bisa menyanyikan lagu-lagu dalem. Lagu dalem memang berbeda dengan lagu sayur atau lagu gambang kromong biasa. Dulu, untuk bisa menyanyikan lagu dalem Poa Li Tan, misalnya, saya harus berlatih tiga bulan. Saya harus hafal setiap kata-kata, irama dan pakem-pakem lainnya.
Menari dalam cokek, juga tidak sembarangan menari. Menari dalam cokek harus sesuai dengan lagunya. Lain lagu, lain pula cara menarinya. Belum lagi pakaiannya. Tapi sekarang, saya lihat banyak wayang cokek menari secara sembarangan. Mereka lebih seperti joged dangdut. Pakaian mereka ketika menari pun alakadarnya. Hanya pakai celana jeans dan kaos ketat. Tidak lagi memakai baju kebesaran cokek yang indah.
Kalau semua itu tidak dilestarikan, suatu saat, kita tak akan melihat cokek lagi. Untung saja, walaupun saya tak mewariskannya kepada anggota keluarga saya, sekarang, saya telah punya penerusnya, yakni Yuli dan Lia. Mereka masih muda, tapi sudah hapal pakem-pakem cokek.
Sekarang, selain sesekali menyanyi di sana-sini, yang bisa saya lakukan hanya melatih para penerus saya supaya cokek tidak punah. Tapi, upaya saya melatih mungkin akan percuma kalau tak ada yang peduli dengan keberlangsungan cokek ini. Khususnya dari kalangan masyarakat Tangerang. Saya juga ingin mengenalkan masyarakat sini dengan cokok, perhatian dan kerjasama yang ditawarkan beberapa pihak, termasuk pemerintah, cukup melegakan hati saya. Tapi, ini juga harus disertai kesungguhan semua pihak, khususnya seniman dan pemerintah sini. Saya juga tak mungkin melakukannya sendiri. Saya hanya ingin bertemu Om Phillip-om Phillip lainnya. Itulah mimpi saya yang mungkin terlalu muluk.

Tulisan ini disarikan Mahdiduri dari wawancara Tim Panitia Semiloka ” Potensi Budaya dan Pariwisata Kota Tangerang ” dengannya. (Sumber : Jurnal Cisadane/Juni/2005)




_______________________________________________________________________
Pendar-pendar lampion Merah

Usianya 82 tahun. Sebagian giginya sudah ompong. Suaranya bergetar dimakan usia. Namun semangat Masnah tampak masih menyala-nyala. Padahal wanita bernama asli Pang Tjin Nio ini sudah mulai menyanyi dan menari cokek sejak berusia 14 tahun. ”Dia satu di antara dua Wayang Cokek yang menguasai Gambang Kromong klasik yang masih tersisa,” ungkap David Kwa, pengamat budaya peranakan Tionghoa di Indonesia. ”Gambang Kromong klasik sebentar lagi tinggal sejarah,” ujar David. ”Sebab Gambang Kromong sekarang sudah mengarah ke dangdut.” David termasuk yang khawatir sejumlah budaya dan kesenian asal Tionghoa akan terancam punah jika tidak mendapat perhatian yang layak. ”Kami memang harus mengikuti selera penonton,” ujar Siauw Ong Gian, pemimpin Gambang Kromong Sinar Jaya. Pria asal Benteng, Tangerang, ini mengaku anak petani jebolan kelas tiga SD dan sudah bermain gambang kromong sejak usia belasan. Dulu dia harus berjalan berhari-hari atau naik truk tua untuk pertunjukkan keliling. Bahkan bersama anggota grupnya, orang-orang Tionghoa asal Benteng, mereka menderita karena larangan pentas pada jaman Orde Baru. Hampir empat puluh tahun kesenian Tionghoa mati suri karena adanya Inpres No.14 tahun 1967 yang melarang tampilnya kesenian Tionghoa di ruang-ruang publik. ”Kami terpaksa latihan dan bermain sembunyi-sembunyi,” ungkap Gak Tjay, pembina perkumpulan musik Twa Koo Tui asal Semarang yang konon tinggal satu-satunya di Indonesia. Delapan tahun merantau ke Jerman dan Eropa, Gak Tjay mengaku akhirnya kembali ke Semarang untuk menghidupkan kembali kesenian peninggalan kakeknya itu. ”Dulu kami takut sekali. Sekarang bahkan kalau ada yang sunatan, kami diundang.” Salah satu tamu unik yang tampil di Kick Andy kali ini adalah Sugiyo Waluyo. Pria setengah baya ini asli Jawa Timur. Walau bukan keturunan Tionghoa, dia terampil memainkan boneka Wayang Potehi di tangannya. Juga ketika dia harus menembang dalam bahasa Hokian. ”Saya belajar dari orang Tionghoa yang jadi dalang,” ujarnya. Namun Sugiyo mengaku anaknya, yang lulusan SMA, walau juga terampil memainkan Wayang Potehi, tidak terlalu antusias untuk meneruskan profesi bapaknya. ”Tidak setiap minggu ada yang nanggap,” ujarnya. Kesenian Tionghoa yang juga bangkit setelah era reformasi adalah Opera Tio Chiu di Pangkal Pinang, Propinsi Bangka Belitung. Sejumlah seniman tempo dulu yang tergabung dalam opera ini mulai berkumpul dan – dengan sisa-sisa usia mereka – mulai mengadakan pementasan. Entah sampai kapan. Sebab bagi sebagian generasi muda Tionghoa, berkesenian seperti itu sudah dianggap kuno dan tidak menarik. Akankah budaya dan kesenian Tionghoa di Indonesia akan punah? Pertanyaan itu yang hendak ditanyakan dalam episode yang diangkat Kick Andy kali ini.

(sumber: http://kickandy.com/theshow/1/1/150/read/Pendar-pendar-lampion-Merah.html)



Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))