PARA PAHLAWAN
Oleh: Fikri Habibi
Setiap tahun,
tepatnya pada tanggal 10 november 2011 diperingati salah satu hari yang
bersejarah bagi negeri Indonesia yaitu Hari Pahlawan. Tanggal tersebut
merupakan simbolisisasi dari perjuangan para pahlawan dalam mengusir
para penjajah di Surabaya, oleh karenanya Surabaya dikenal dengan nama
lain sebagai Kota Pahlawan. Perlu dipahami bahwa penamaan Surabaya
sebagai kota pahlawan tidak berarti melupakan perjuangan pahlawan di
kota-kota lainnya karena perjuangan mengusir penjajah dilakukan oleh
seluruh suku-bangsa di Indonesia.
Pahlawan
secara tradisional dipahamkan sebagai orang yang mempunyai jasa bagi
bangsa dan Negara khususnya dalam merebut kemerdekaan baik mereka yang
memilih jalan berperang maupun politik-diplomasi. Ketika para pahlawan
tersebut berjuang, mereka mendedikasikan sebagian besar hidupnya bagi
Negara dan tanpa berfikir sedikitpun ketika mereka wafat menginginkan
gelar pahlawan. Mereka rela hidup dari hutan ke hutan melakukan perang
gerilya, penjara ke penjara dan dari satu tempat pembuangan ke tempat
pembuangan lainnya atau gugur demi Negara. Mereka yang berjuang dan
diberi gelar pahlawan (resmi oleh pemerintah) jumlahnya mungkin hanya
satu koma sekian persen dari jumlah putra-putri bangsa yang berjuang
pada saat itu yang gugur tapi tidak teridentifikasi. Sebagai contoh,
ketika Jendral Soedirman atau Pangeran Diponegoro melakukan gerilya,
mereka mempunyai banyak pasukan. Pertanyaannya, apakah semua pasukan
yang gugur tersebut diberi gelar pahlawan semuanya tanpa terkecuali? Hal
itu juga terjadi pada peperangan yang terjadi pada tanggal 10 november
di Surabaya, terlalu banyak para pejuang yang meninggal dan mereka semua
sesungguhnya pahlawan juga meskipun tidak teridentifikasi satu persatu
dan tidak diberi gelar pahlawan. Para pahlawan tidak hanya mereka yang
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tapi juga mereka yang dimakamkan di
gunung-gunung atau ditempat yang tidak diketahui karena gugur dalam
berjuang.
Ketika
era penjajahan sudah berlalu tidak berarti kelahiran para pahlawan ikut
berhenti, saat ini pahlawan dapat hadir di bidang apa saja seperti olah
raga, lingkungan atau hak azasi manusia baik yang resmi dari pemerintah
maupun yang tidak. Contoh sederhana gelar pahlawan juga dapat diberikan
pada kedua orang tua kita, suster apung di Pulau Sulawesi, pada seorang
pemain sepak bola yang mencetak gol penentu kemenangan atau pada
seseorang yang mendedikasikan hidupnya pada bidang tertentu dan
memberikan pengaruh positif yang sangat besar kepada masyarakat.
Tidak semua
masyarakat yang mempunyai jasa kepada Negara dan diberi embel-embel
pahlawan mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Sebagai
contoh Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang menyandang gelar pahlawan
devisa. Jasa para TKI bagi Negara setidaknya mencakup dua hal yaitu
mengurangi jumlah pengangguran dan menyumbang devisa yang sangat besar.
Ketika pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk
rakyatnya, para TKI berinisiatif untuk mencari pekerjaan di negeri orang
dengan modal sendiri. Meskipun sering kali mereka kena tipu dan harus
menyetor sejumlah uang (pungli) baik saat berangkat maupun pulang dari
luar negeri. Jumlah TKI ini memberikan data statistik yag cukup
signifikan dalam menekan angka pengangguran, sehingga pemerintah akan
dengan bangga mengumumkannya kepada dunia bahwa pengagguran di Indonesia
turun secara signifikan.
Dari sisi devisa, pemasukan
devisa yang dihasilkan dari uang TKI yang dikirimkan hingga 2008
sebesar US$6,617 miliar atau sekitar Rp60 triliun dan pada 2009 menurun
tipis US$6,617 miliar. Sementara menurut data remitansi Bank Dunia pada 2010,
pengiriman uang ke dan dari Indonesia mencapai US$7 miliar atau sekitar
Rp63 triliun. Angka ini lebih tinggi dibanding data remitansi BI 2010
sebesar US$6,73 miliar atau sekitar Rp61 triliun. Untuk
2011, pengiriman uang dari TKI selama kuartal pertama 2011 mencapai
US$1,6 miliar atau sekitar Rp14 triliun. Rata-rata TKI mengirimkan uang
US$500 juta atau sekitar Rp4,5 triliun per bulan ke Indonesia
(sumber vivanews). Angka-angka uang tersebut jelas jumlah yang sangat
besar, bahkan kiriman uang TKI dalam sebulan dapat membiayai roda
pemerintahan dan pembangunan sebuah provinsi seperti Banten dalam
setahun karena lebih besar dari APBD Banten. Oleh karenanya presiden,
menteri, gubernur, angota DPR dan seluruh pejabat publik lainnya di
Indonesia digaji salah satunya dari keringat dan nyawa para TKI. Sudah
sewajarnya pula pemerintah memberikan perhatian yang lebih kepada para
TKI baik kemudahan keberangkatan, pemberantasan calo dan perlindungan
hukum yang maksimal. Jangan sampai terulang para TKI terlunta-lunta
hidup di bawah kolong jembatan di negeri orang dan dipulangkan dengan
kapal laut sementara buronan korupsi pulang dengan pesawat carteran
dengan biaya milyaran rupiah. Mungkin pada akhirnya, penamaan TKI
sebagai pahlawan devisa hanya sebagai sebuah kamuflase atau bahasa
penghibur dari pemerintah bila perlakuan terhadap TKI tidak diposisikan
sebagaimana mestinya seorang pahlawan.
Cerita TKI ini
tidak jauh berbeda dengan para atlet nasional yang mengibarkan bendera
merah putih di tiang tertinggi di kancah internasional. Mereka
berprestasi dengan memberikan yang terbaik buat Negara pada berbagai
kejuaran dan event tertentu seperti sea games, asian games dan
olimpiade. Prestasi mereka ibarat parfum yang mewangikan Indonesia dan
mereka adalah pahlawan. Ketika mereka sudah pensiun, mereka terabaikan,
tidak dihargai dan bertahan hidup seadanya. Seorang mantan atlit dayung
yang menyumbangkan emas pada ajang sea games, sekarang hanya menjadi
penjaga kapal di Sidoarjo dengan penghasilan 500 ribu perbulan, atau
mantan atlet tinju yang menjadi pengaman tempat hiburan. Mereka telah
mengorbankan obsesinya selain olah raga, rela putus pendidikan atau
menunda untuk menikah karena fokus latihan demi hasil yang terbaik buat
bangsa dan Negara.
Cerita sedikit
berbeda datang dari pahlawan tanpa tanda jasa atau guru. Dulu, nasib
guru persis sama dengan lirik lagu Umar Bakri dari Iwan Fals. Mengemban
tugas mulia dalam rangka mencerdaskan anak bangsa hingga mereka mampu
memajukan negeri ini tapi tidak dengan kesejahteraan yang layak. Tapi
rasanya cerita itu sudah sedikit berubah, kesejahteraan guru sekarang
ini jauh lebih baik dari sebelumnya dengan program pemerintah. Bagi
guru yang lolos sertifikasi akan diganjar dengan gaji yang mencapai
beberapa kali lipat dari gaji setiap bulannya. Tapi ironisnya, tersiar
kabar bahwa sekitar 75% guru yang sudah sertifikasi malah berkinerja
rendah atau cerita tentang guru yang harus berurusan dengan penegak
hukum karena terlibat penyimpangan dana bantuan pendidikan seperti BOS.
Mungkin, sosok umar bakri masih akan kita jumpai pada guru-guru honor
(terutama di sekolah swasta) yang bekerja daerah terpencil seperti di
Papua, Kalimantan atau daerah terpencil lainnya hanya dengan satu modal
yaitu dedikasi.
Pahlawan juga
dapat menjadi penyakit bila menjadi tujuan utama dalam segala
perjuangan. Dalam sebuah gerakan mahasiswa misalnya, ketika ada satu
atau beberapa orang mahasiswa yang ingin menonjolkan dirinya, ingin
lebih terkenal, ingin menjadi tokoh dan merasa paling berjasa dibanding
kawan-kawannya maka dapat dipastikan perjuangan tersebut akan mentah.
Sebuah tim sepak bola yang berisikan pemain yang hebat tetapi
masing-masing ingin dilihat paling menonjol maka permainannya akan
individualis dan gampang dipatahkan oleh lawan. Oleh karenanya, gelar
pahlawan sudah semestinya tidak dikejar atau tidak menjadi tujuan utama
bahkan lebih baik dihindari.
Pahlawan dapat
menjadi teladan dan sumber inspirasi bagi kita semua, akan tetapi bila
cerita kepahlawanan tersebut berlebihan dikhawatirkan akan membuat pola
fikir generasi muda menjadi berbelok, berlomba-lomba menjadi pahlawan.
Bagaimana bila kita berfikir beda, pelajaran dapat kita dapatkan dari
sosok yang berseberangan dengan pahlawan yaitu pengkhianat. Dari sekian
banyak pahlawan kemerdekaaan tentu juga ada sekian banyak yang menjadi
pengkhianat yang bersekongkol dengan penjajah. Ketika cerita antara
pahlawan dan pengkhianat dalam buku sejarah kita disajikan secara adil
maka masyarakat akan disajikan dalam pilihan pelajaran yang sangat
jelas. Toh, konon perbedaan antara pahlawan dengan pengkhianat hanya
persoalan politik dan sudut pandang. Ketika dalam segerombolan koruptor
muncul seorang seperti Agus Tjondro, oleh para koruptor tersebut mungkin
dia disebut pengkhianat tapi bagi penegak hukum dan masyarakat dia
adalah pahlawan peniup peluit. Belajar tidak harus dari yang sukses tapi
juga dari yang gagal tidak harus dari pahlawan tapi juga dari
pengkhianat.
_________________________________________________________________________________
Oleh : Fikri Habibi
Banten berpesta! Ini bukan sembarang pesta seperti acara pernikahan atau khitanan, tapi Banten sedang gaduh oleh pesta politik-demokrasi yaitu pemilukada. Riuh gaduh itu telah dimulai sejak beberapa bulan ke belakang hingga hari pemilihan tanggal 22 Oktober 2011, dan mungkin kegaduhan itu akan terus berlanjut entah sampai kapan. Namanya juga pesta, isinya hanya kesenangan dan kegembiraan (tidak untuk para calon gubernur dan wakilnya), mereka berjoget hingga lupa akan masalah.
Kesenangan dan
kegembiraan itu nampaknya tidak dirasakan oleh salah seorang warga
banten. Sebut saja namanya Pa Yayat umur 43 tahun, sehari-hari bekerja
sebagai pengrajin celengan dari batok kelapa. Pa Yayat mempunyai hak
politik yang sama seperti warga Banten lainnya guna menentukan siapa
calon pemimpin Banten lima tahun ke depan. Namun, sehari-hari fikiran
bapak dua orang anak ini bukan dipusingkan dengan siapa yang harus
dipilih, tidak juga ambil pusing dengan pestapora politik , tapi dia
memikirkan tumor ganas yang setahun ini masih menempel di leher bagian
kanannya, setiap menit! Pilihannya lebih rumit dibanding memilih calon
gubernur di TPS. Pilihan Pa Yayat adalah simalakama, memilih dioperasi
tidak ada biaya, tidak dioperasi maka dia harus berjuang melewati
kehidupan dengan berteman tumor ganas. Pilihan yang kedua ini dipaksa
untuk diambilnya, dan mudah-mudahan pilhan ini hanya untuk sementara.
Tahukah Anda
dimana Pa Yayat tinggal? Beliau tinggal di sebuah rumah yang sederhana
di Kota Serang tepatnya di JL KH Jamhari, letaknya tidak jauh dari
Gedung Pendopo Provinsi Banten, hanya sepelemparan batu dari Kantor
Bupati Serang, tidak jauh juga dengan DPRD Kota Serang, dan yang
menggembirakan tidak jauh dari RSUD Serang. Tidak ada tendensi apapun
dengan penyebutan jarak rumah Pa Yayat dengan kantor-kantor tersebut,
hanya mencoba mendeskripsikan ternyata Pa Yayat sangat dekat dengan
penghuni kantor tersebut, minimal dekat dengan rumahnya (entah kalau
orangnya). Kita harus selalu menanamkan semangat berkhusnudzon kepada
para pemimpin, karena dengan prasangka baiklah Banten ini dapat maju dan
sejahtera. Makanya saya sangat tidak setuju ketika para pengkritik
membandingkan kata “kepedulian” antara para pemimpin sekarang dengan
Khalifah Ummar Bin Khatab yang memanggul beras demi masyarakatnya.
Mengapa demikian, karena memang Ummar bin Khatab sudah tidak ada
padanannya lagi dengan pemimpin di era sekarang.
Tumor yang
menempel di leher itu membuatnya hanya terbaring di tempat tidur hingga
berhenti berkarya. Harusnya, butiran-demi butiran batok kelapa dia gurat
hingga menjadi sebuah celengan yang menarik. Sangat menarik tapi hanya
dalam perspektif kreativitas dan pelestarian kerajinan tradisional
tetapi tidak menarik dari komersialitas. Celengan-celengan dari plastic
atau kaleng tentu sangat unggul dari sisi apapun, dan produk Pa Yayat
ini mungkin hanya dibeli oleh masyarakat yang menyenangi keunikan untuk
koleksi. Barang atau mainan local-tradisional seperti karya Pa Yayat
dibiarkan begitu saja bersaing dengan mainan impor dari China yang
merajalela di pasar. Padahal, butiran celengan batok kelapa yang terjual
merupakan embun untuk bertahan hidup, bila ada sisa dijadikan tabungan
untuk biaya operasi tumor ganasnya (insya allah).
Teriakan Pa
Yayat akan keinginan mengoperasi tumornya bukannya tidak keras, akan
tetapi kalah keras dengan riuh-gaduh kampanye pilgub hingga para
kandidat cagub dan cawagub tersebut samar mendengarnya. Lazimnya, para
kandidat akan lebih peka menjelang pemilihan dengan mendatangi
masyarakat yang mengalami kesusahan seperti Pa Yayat, untuk pencitraan.
Bilapun itu terjadi, tentu tidak menjadi masalah bagi Pa Yayat mau
dijadikan objek pencitraan atau tidak, karena terpenting adalah tumornya
dapat diangkat.
Harapan
itu mendadak sangat tinggi ketika menyaksikan depat cagub dan cawagub
di Banten TV dan Metro TV. Semua kandidat berkampanye untuk memberikan
kesejahteraan kepada masyarakatnya, jualannya pendidikan gratis,
infrastruktur dan layanan kesehatan gratis dan berkualitas. Ketika Pa
Yayat menyaksikan debat tersebut dan mendengar tentang janji kesehatan
gratis, dia langsung menangis dan berucap syukur Alhamdulillah, semoga
segera terwujud. Nothing to lose, itulah kira-kira
perasaan Pa Yayat karena siapapun yang menjadi pemimpin Banten, dia
tidak perlu khawatir akan biaya kesehatan karena semua menjanjikannya.
MEMBALIKAN BUAH SIMALAKAMA
Sambil kita
menunggu terpenuhinya janji para kandidat tersebut (karena belum
terpilih), maka kita bisa melakukan sesuatu untuk membantu Pa Yayat,
membalikan pilihan simalakama yang selama ini dijalankan. Seperti
ditulis di muka, bahwa pilihan Pa Yayat adalah bertahan dengan tumor
ganasnya dan melupakan sejenak operasi karena biaya. Bantuan kita adalah
membalikan keadaan itu, Pa Yayat harus dioperasi tanpa memikirkan
biayanya. Jumlah biaya operasi itu jelas tidak sedikit, mungkin puluhan
juta dan tugas kita adalah mengumpulkan sekeping demi sekeping uang
hingga mencapai puluhan juta itu.
Oleh karenanya
beberapa organisasi baik LSM, Pelajar, Mahasisiwa dan para seniman
sepakat untuk membuat posko kepedulian terhadap Pa Yayat. Pengumpulan
dana akan dilakukan melalui transfer via rekening dan ngecrek di
jalanan yang tersebar di sejumlah titik. Aksi peduli pertama kali
dimulai di alun-alun kota Serang persis di depan Kantor Bupati dan DPRD
Serang pada hari Minggu tanggal 23 Oktober 2011, saat semua masyarakat
Banten lebih menunggu hasil perhitungan suara. Meskipun begitu, posko
ini mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat dan akan
dilanjutkan untuk 10 hari ke depan. Pembentukan posko ini tidak untuk
gagah-gagahan apalagi menyaingi Dinas Kesehatan, karena kami tidak punya
kewenangan mengeluarkan Jamkesda. Hanya sebuah niatan tulus untuk
meringankan beban Pa Yayat
Kesuksesan
pengumpulan dana tersebut bergantung pada kedermawanan masyarakat Banten
maupun di luar Banten. Karena pengalaman yang sudah, para penyumbang
tidak hanya berasal dari Banten tapi juga dari provinsi lain yang
penyebaran informasinya melalui media jejaring social seperti facebook
dan twitter. Apapun bentuk bantuannya, berapapun jumlah bantuan yang
diberikan kepada posko, kami akan menggunakannya sesuai misi pendirian
posko itu, membantu operasi Pa Yayat. Kami sudah berkomitmen untuk tidak
mengurangi se-sen pun jumlah bantuan yang diberikan, biaya operasional
posko peduli berasal dari kantong masing-masing anggota posko.
Kita harus
bergegas dengan cepat dan jangan sampai terlambat, ini adalah tumor
ganas dan keterlambatan penanganan berdampak pada kehilangan nyawa.
Fikri Habibi
NimusInstitute dan Posko Peduli Pa Yayat
IDIOLOGI “WANI PIRO?”
Oleh : Fikri Habibi
“Pengen
sogokan hilang dari muka bumi”, kemudian dijawab :”bisa diatur, wani
piro?. Petikan kalimat tersebut berasal dari sebuah dialog dalam iklan
sebuah produk rokok di televise, meskipun tidak ada hubungannya antara
rokok dengan kalimat tersebut. Dialog tersebut memiliki sebuah makna
alias sindiran terhadap perilaku masyarakat mulai dari pejabat
pemerintah sampai masyarakat biasa yang selalu UUD (ujung-ujungnya
duit). Setanlah yang biasanya merayu manusia untuk melakukan kesalahan
termasuk suap/korupsi, lantas bagaimana kalau setan yang meminta suap?
Setan sudah kehilangan pekerjaan dan berekspansi dengan pekerjaan
manusia karena pekerjaannya banyak yang telah diambil alih oleh manusia,
Naga Bonar bilang “Apa Kata Dunia?”
Wani
piro atau berani berapa, tentu maksudnya adalah uang. Untuk apa?
Jawabannya kepentingan. Kepentingan manusia mulai dari urusan perut
sampai urusan prestise dan aktualisasi. Urusan perut teradi pada saat
kita pergi ke pasar dengan kepentingan untuk membeli kebutuhan pokok,
terjadi tawar menawar yang alot dan biasanya diakhiri dengan kalimat, ya
sudah Anda berani berapa? Praktek wani piro di sini tentu tidak
mendatangkan masalah karena dilakukan terbuka dan tidak ada pihak yang
dirugikan. Praktek wani piro yang merugikan terjadi guna melancarkan
sesuatu urusan/masalah meskipun awalnya tersumbat. Anda punya urusan
baik bisnis, masalah hukum, pajak, sampai urusan sepele kuncinya adalah
duit, dengan fulus semua menjadi mulus. Praktek wani piro ini terjadi di
semua lembaga pemerintahan baik di eksekutif, legislative maupun
Judikatif. Berapa banyak gubernur,walikota, bupati, anggota DPR/DPRD,
jaksa, hakim dan pengacara yang masuk penjara karena persoalan uang.
Coba lihat satu kasus saja yaitu kasus Gayus Tambunan, bermula dari
hanya urusan pajak kemudian melebar dan menyeret pejabat di lembaga
penegakan hukum. Dari institusi kejaksaan, kasus gayus menyeret nama
Cirrus Sinaga begitu juga di kepolisian menyeret nama Arafat Enanie dan
Kompol Iwan Siswanto. Pengacara Gayus yaitu Haposan Hutagalung juga ikut
terlibat dan korps majlis hakim diwakili oleh hakim Asnun. Semua pihak
tersebut pada awalnya hanya bertanya wani piro pada Gayus dan dijawab
dengan milyaran rupiah oleh Gayus. Hal itu juga berlaku terhadap sumber
uang Gayus yang berasal dari permainan pajak Gayus dengan
perusahaan-perusahaan yang bermasalah dengan pajak.
Keyakinan
semua masyarakat Indonesia adalah, bahwa kasus Gayus serta kasus-kasus
lainnya yang terungkap hanyalah fenomena gunung es, masih terlalu banyak
praktek wani piro yang tidak terungkap atau tidak akan pernah
terungkap. Pelaku yang tertangkap hanya sedang sial atau ditumbalkan
oleh atasannya untuk menutupi sindikat yang lebih besar lagi. Hal
tersebut diperkuat oleh kasus Nazaruddin, kalau nyanyiannya itu merdu
dan itulah fakta sebenarnya tentu sangat mengerikan karena pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya. Pada saat wawancara via skype dia sedikit
menjelaskan kasus-kasus lain selain wisma atlet dan hambalang, meskipun
dia enggan menyebutkan siapa saja mafia di dalamnya. Kengerian ini tentu
tidak hanya para pihak yang terlibat tetapi juga pada scenario
memuluskan kepentingan tersebut dari hulu sampai hilir termasuk
manajemen resikonya, siapa yang ditumbalkan dan diselamatkan?. Kasus
Nazaruddin adalah urusan duit yaitu pembagian proyek-proyek APBN, mau
menang tender syaratnya si A dapat berapa, B berapa dan seterusnya,
semakin tinggi dan pentingnya seseorang maka semakin besar uang yang
harus disetorkan. Urusan Nazaruddin juga nyerempet ke kongres partai
Demokrat, dimana pengakuannya bahwa Anas Urbaningrum tidak mungkin
menang tanpa duit sekitar $ 20 juta US yang bersumber dari APBN.
Wani
piro tidak hanya menjadi kanker pemerintahan pada stadium 4 atau
kritis, tetapi lebih dari itu, wani piro sudah menjadi idiologi di
tengah-tengah pudarnya idiologi Pancasila. Lima sila yang digali dan
dirumuskan oleh Bung Karno betul-betul hanya menjadi hiasan di dinding
sekolah dan kantor pemerintahan. Tindakan-tindakan melanggar
hukum seperti korupsi adalah tindakan yang tidak mencerminkan seseorang
mengamalkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Keyakinan seseorang terhadap
Tuhan seharusnya dapat menjadi lampu merah di dalam hatinya untuk tidak
melakukan korupsi. Bagi yang masih percaya Tuhan seharusnya malu kepada
RRC yang komunis yang katanya tidak bertuhan, mereka sangat ketat dalam
urusan tindakan korupsi sampai di hukum mati (terakhir RRC menghukum
mati 2 orang pejabat korup). Indonesia, adakah koruptor yang dihukum
mati? Rasa-rasanya masih jauh, dimajukan ke persidangan saja
berbelit-belit, meskipun dihukum masih dapat fasilitas di dalam
penjaranya. Suap, gratifikasi atau korupsi adalah bentuk-bentuk
perbuatan seseorang yang beridiologi wani piro. Idiologi ini terbentuk
akibat semakin sistematisnya pengaruh gurita kapitalisme di Indonesia,
hasilnya semua dapat diukur dengan fulus. Idiologi wani piro, hanya
mempunyai satu-satunya sila yaitu sila Keuangan Yang Maha Kuasa,
selanjutnya bisa diatur. Pengikut idiologi ini menempatkan uang sejajar
dengan sila pertama pancasila yaitu Tuhan. Di dalam pandangannya, Tuhan
hanya bersifat abstrak yang kekuasaannya hanya terbatas pada urusan-urusan
akhirat, tetapi di dunia nyata perannya diganti oleh Uang yang
kekuasaannya meliputi semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara
Idiologi wani piro setidaknya mempunyai empat karakteristik. Pertama; materialistic. Di dalam pikiran Pengikut
idiologi ini hanya satu yaitu uang. Sekolah, bekerja dan melakukan
aktivitasnya hanya berorientasi pada uang semata bukan sebagai ibadah
dan mencari keridhoan Tuhan. Harapan dibentuk oleh uang bukan oleh
dorongan jiwa dan tekad serta konsitensi yang sangat kuat, ada uang
seperti punya segalanya, tidak punya uang seperti tidak punya harapan
apapun. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak membutuhkan uang, tetapi
sudut pandang dan perlakuan terhadap uang yang harus dirubah dengan
tidak menempatkan di atas segalanya. Karakteristik yang kedua yaitu
bekerja dengan pamrih. Membantu seseorang akan dilakukannya apabila ada
uang masuk ke rekening pribadinya atau ada balas jasa. Termasuk dalam
mendukung seseorang untuk suatu posisi, tidak berdasarkan kepribadian,
track record, dan program yang ditawarkan tetapi berdasarkan jumlah
rupiah yang paling besar alias wani piro. Karakter yang Ketiga adalah
selalu menyepelekan masalah. Dalam pandangannya jangan terlalu takut dan
risau dengan permasalahan meskipun berhubungan dengan hukum atau
penjara. Keyakinannya adalah semua masalah tersebut dapat diselesaikan
dengan cepat dan tepat dengan uang. Faktor uang menjadi solusi dari
semua persoalan meskipun sebenarnya tidak semua persoalan dapat
diselesaikan dengan uang. Saya teringat ketika naik bis mendengar
percakapan tiga orang, dimana salah satunya sedang mengalami masalah
hukum. Dari pernyataannya, nampaknya dia adalah pelaku pemukulan
terhadap temannya yang kemudian dia dilaporkan ke kepolisian. Meskipun
sebagai terlapor dan pelaku pemukulan saya tidak melihat ketakutan di
mukanya malah dia mengeluarkan sebuah pernyataan ”ga apa-apa lapor
polisi, kita tarung duit aja”. Saya betul-betul tercengang mendengarnya,
banyak makna dari kalimat tersebut tapi satu diantaranya adalah orang
tersebut jelas menyepelekan masalah dengan uang meskipun sedang
berurusan dengan polisi dan penegak hukum lainnya. Karakteristik yang
terakhir dari idiologi wani piro yaitu berorientasi hasil. Sepatutnya
manusia hanya berada di dalam wilayah proses, tetapi idiologi ini
menyebabkan manusia sibuk untuk masuk pada wilayah hasil. Proses tidak
lagi menjadi sebuah substansi dari sebuah perjuangan yang bernilai besar
dalam menggapai sesuatu. Oleh karena hasil yang dipikirkan, maka apapun
akan dilakukan demi mencapainya termasuk memakai jalan pintas. Mau jadi
PNS tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan soal ujian CPNS dengan
benar, katanya cukup dengan menyediakan uang 120 juta saja. Atau mau
menjadi anggota legislative, ada opini yang berkembang bahwa si caleg
tidak perlu kampanye dari jauh-jauh hari dan menyusun program yang
ditawarkan. Katanya cukup dengan kampanye 10 hari menjelang pemilihan,
sediakan amplop berisi uang untuk membeli suara masyarakat dan koper
untuk menyuap para petugas pemilu mulai dari desa sampai ke KPU/KPUD. Wallahu’alam.
Entah
pada bagian mana kita dapat memotong idiologi wani piro sehingga tidak
terus-terusan merusak pola fikir masyarakat. Perlu keputusan politik
yang komprehensif yang mencakup kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Penegakan hukum menjadi kunci meredam idiologi wani piro
dalam konteks masalah pelanggaran hukum seperti suap dan korupsi.
Pendekatan agama dan budaya berada pada wilayah mereorientasi pola fikir
masyarakat terutama dalam menjalani hidup di bumi ini. Bisa jadi,
ketidakadilan terhadap masyarakat kecil disebabkan karena mereka tidak
bisa menjawab pertanyaan wani piro?
Posting Komentar