Oleh Ade Makmur K.
Uraian dalam tulisan ini dibagi dalam beberapa bagian, yaitu yang pertama memberikan gambaran umum tentang lokasi dan kependudukan, kemudian struktur ruang dan struktur sosial serta terakhir adalah kondisi masyarakat Baduy dalam konteks kekinian. Tentu dalam uraian ini tidak diarahkan untuk memberikan penilaian atau interpretasi terhadap suatu masalah yang tampak melainkan membiarkan sesuatu gejala itu wujud.
Desa Kanekes
Desa Kanekes adalah salah satu desa di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten, seluas 5.101,85 hektar, sebagian besar tanahnya merupakan dataran tinggi yang bergunung dengan lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa merupakan hutan lindung atau Orang Baduy sering menyebutnya hutan tutupan.
Pada tahun 1888 Orang Baduy berjumlah 291 orang yang tinggal di 10 kampung, sedangkan tahun 1899 meningkat menjadi 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs, Meijer, 1891; Pennings,1902), tahun 1908 berjumlah 1.547 orang (Tricht, 1929), kemudian tahun 1966 meningkat lagi menjadi 3.935 orang. Tahun 1971 berjumlah 4.078 orang, tahun 1983 penduduk Desa Kanekes menjadi 4.574 orang, tahun 1995berjumlah 5.672 orang dan tahun 1999 berjumlah 7.041 orang.
Hal itu berarti, telah terjadi peningkatan penduduk hampir 20 kali lipat. Keadaan ini menuntut penyediaan lahan untuk permukiman semakin bertambah, dari pelbagai catatan dapat diketahui pertambahan kampung, yaitu tahun 1891, masih terdiri atas 9 kampung (3 tangtu, 1 panamping, 5 dangka), 38 tahun kemudian, tepatnya tahun 1929, berjumlah menjadi 17 kampung (3:7:7), tahun 1952 bertambah menjadi 31 kampung (3:21:7), pada tahun 1975 menjadi 36 kampung (3:30:3), tahun 1986 terjadi penambahan menjadi 43 kampung (3:37:3), tahun 1996 menjadi 53 kampung (3:47:3), dan tahun 2000 tercatat menjadi 56 kampung (3:50:3).
Pertambahan jumlah kampung di Desa kanekes itu menunjukkan lahan garapan mereka semakin didesak oleh keperluan lahan untuk penyediaan permukiman. Padahal dalam strategi mereka untuk mengatasi keadaan serupa itu dikenal suatu cara penyediaan lahan permukiman (kampung) yang boleh berada di luar wilayah Desa Kanekes, sehingga lahan garapan berhuma mereka tidak berkurang. Strategi penyediaan permukiman seperti itu, dikenal dalam tatanan kehidupan mereka sebagai kampung dangka yang menurut catatan justru jumlah dangka pada masa kini semakin berkurang. Hal itu, akibat pada masa-masa terakhir ini dangka ditarik kembali ke wilayah Desa Kanekes atas suatu soal yang dihadapi mereka dengan penduduk sekitarnya.
Akibat yang paling parah bagi Desa Kanekes, penduduk dan lahan untuk permukiman menjadi semakin bertambah. Tentunya, keadaan itu pun mengakibatkan dalam sistem perladangan mereka yang dikenal sebagai slash and burn lajunya semakin dipercepat yang menimbulkan tingkat kesuburan tanah semakin berkurang dari tahun ke tahun.
Sebutan dan asal Orang Baduy, Orang Baduy hanya mengenal bahasa lisan. Oleh karena itu, asal-usul mereka dicatat dalam ingatan dari generasi ke generasi dalam cerita tentang karuhun mereka. Bagi Orang Baduy, yang melihat tentang catatan waktu ialah segala peristiwa dalam kehidupan masyarakatnya, proses waktu merupakan perjalanan riwayat dunia yang setara dengan keadaan alam semesta. Demikian juga halnya mengenai asal dan sebutan Orang Baduy sebaiknya dilihat dari segi apakah anggapan mereka tentang dirinya sendiri, yaitu berbagai kaitan karuhun dengan alam semesta menurut perputaran waktu dan masa yang menempatkan mereka pada posisinya tertentu seperti digariskan pada awal eksistensinya.
Sebutan terhadap orang Baduy dapat dibagi pada dua jenis, yaitu sebutan yang diberikan oleh orang luar masyarakatnya dan mereka menyebut dirinya sendiri. Sebutan mana yang lebih dikenal akan tergantung pula pada kekerapan istilah itu menurut kebiasaan dan keinginan para pemakai istilah. Dalam menelaah penggunaan sebutan untuk orang Baduy, adalah menarik ditinjau bagaimana sebutan itu digunakan dalam jangka waktu yang panjang selama beberapa ratus tahun. Dengan demikian, nama Baduy kini seperti telah digunakan sebagai sebutan untuk kelompok masyarakat yang tinggal di Desa Kanekes, tampaknya bermula setelah agama Islam masuk ke wilayah Banten utara pada Abad ke-16.
Kegalauan sebutan terhadap penduduk Kanekes baik oleh warga masyarakat bukan Baduy maupun penulis-penulis asing pada permulaan Abad ke-18 dan Abad ke-19 memperlihatkan perkiraan yang mempertimbangkan semua aspek dan mencoba mencari jawabannya, termasuk aspek linguistik (misalnya, Jacobs dan Meijer, 1891; Pennings, 1902). Pembakuan sebutan Badawi, Badoeien, Badoei dan Bedoeis oleh orang-orang Belanda seringkali ditunjang pula oleh laporan-laporan resmi para pejabat pemerintahan kolonial. Karena itu, ada pula kemungkinan bahwa kata Badoeis, Bedoeis dikaitkan dengan kata badwi kelompok masyarakat Arab yang hidup secara nomaden di gurun pasir. Selain kata itu kadangkala dikaitkan dengan kata Buddha, buda yang berarti tidak beragama Islam.
Pleyte (1909), memberikan alasan tentang sebutan Baduy itu dikaitkan dengan unsur kebudayaan mereka sendiri. Ia mengemukakan bahwa kata Baduy tidak ada konotasi sebagai kata hinaan dan juga tidak ada kaitannya dengan kata Badwi, tetapi semata-mata nama Baduy yang berasal dari kata Cibaduy, nama sungai di sebelah utara Desa Kanekes. Itu artinya, untuk menyebut diri sendiri memang merupakan salah satu kebiasaan masyarakat Sunda menyebut nama kampung atau tempat bermukim, tempat dilahirkan atau tempat yang dapat memberikan arti penting dalam kehidupannya. Sehubungan dengan itu, tidaklah mengherankan apabila sebutan urang Kanekes dipakai pula oleh mereka, sebagai sebutan yang menekankan hakekat dan nilai budayanya.
Selain, sebutan untuk orang Baduy yang merupakan masalah oleh semua penulis, masalah asal juga menjadi bahan kajian yang tidak hentinya-hentinya (Jacobs dan Meijer, 1891; van Trich, 1929; Geisi, 1952). Bahkan penulis-penulis setelah kemerdekaan Indonesia seringkali mengaitkan asal-usul mereka dengan keruntuhan kerajaan Sunda-Hindu terakhir di Jawa Barat, yaitu kerajaan Pajajaran pada Abad ke-15 (misalnya, Djunaedi dkk., 1985; dan Danasasmita, 1986).
Orang Baduy menurut pandangan yang dikemukakan penulis itu, adalah keturunan dari pelarian keraton Pajajaran yang melarikan diri ke sebelah selatan Banten dan terdesak oleh serangan Sultan Hasanuddin yang menyebarkan agama Islam di kawasan itu. Dari penulis asing tampaknya ada kecenderungan persamaan pandangan dalam hal asal orang Baduy, mereka beranggapan bahwa asal orang Baduy bukan dari Banten utara ataupun pelarian dari kerajaan Pajajaran tetapi mereka adalah orang-orang setempat yang sudah berada di sana sejak lama sebelum pengaruh Islam tiba dan mengubah kepercayaan setempat.
Kampung dan Ikatan Kerabat
Untuk melihat kekerabatan orang Baduy, lokasi tempat tinggal mereka dianggap penting. Lokasi permukiman itu menentukan pada kedudukan mana terletak seseorang sebagai keturunan para Batara. Selain itu, dapat pula dipahami berbagai sistem sosial lainnya seperti perkawinan, pola tempat tinggal sesudah kawin, penempatan rumah di kampung yang dapat memberikan gambaran tentang kekerabatan dan kedudukannya dalam masyarakat.
Hubungan antara sistem kekerabatan dan lokasi kampung dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: pertama tentang kampung tangtu; kedua, kampung panamping; dan ketiga pajaroan. Tentang hal itu, ekpresi orang Baduy menyatakan bahwa seluruh wilayah Desa Kanekes adalah tangtu teulu jaro tujuh. Artinya, bahwa wilayah Kanekes seluruh penduduknya merupakan satu kerabat yang berasal dari satu nenek moyang, kalau pun ada perbedaan terletak pada tua dan muda dari sisi generasi.
Dalam kekerabatan orang Baduy, Cikeusik dianggap yang tertua, Cikertawana yang menengah dan Cibeo yang termuda. Oleh karena itu, Puun Cikeusik lah yang mengurus kunjungan tahunan ke Sasaka Domas tempat yang disucikan oleh orang Baduy. Kerabat yang lebih muda cukup dengan mengikuti yang tertua. Demikian juga halnya dengan pembagian kombala, berupa tanah putih dan lumut yang dibawa dari tempat itu, mengikuti ketentuan kerabat tua dan muda.
Namun demikian, untuk memudahkan pembahasan kekerabatan, istilah kekerabatan atau kinship dalam tulisan ini mengacu pada sejumlah status (posisi atau kedudukan sosial), dan saling hubungan antarstatus sesuai dengan prinsip-prinsip budaya yang berlaku terutama digunakan untuk: (1) menarik garis pemisah antara kaum-kerabat (kin) dan bukan kaum-kerabat (non-kin); (2) menentukan hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain secara tepat; (3) mengukur jauh/dekatnya hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain; dan (4) menentukan bagaimana seseorang harus berperilaku terhadap seseorang yang lain sesuai dengan aturan-aturan kekerabatan yang disepakati bersama.
Prinsip kekerabatan tersebut, dalam konteks Orang Baduy sebagaimana ditunjukkan oleh N.J.C. Geise (1952) dalam disertasinya yang berjudul Badujs en Moslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten, mengungkapkan bahwa kekerabatan Orang Baduy tidak menyimpang dari model klasik yang dibuat oleh van Wouden (1935), untuk beberapa masyarakat Indonesia Timur. Menurutnya, ada beberapa perubahan yang terjadi disebabkan isolasi yang dilakukan Orang Baduy sendiri. Model van Wouden itu berdasarkan perkawinan asimetris (asymetric connumbium), dan garis keturunan (double descent) serta suatu preferensi untuk perkawinan antarsepupu (cross-cousins marriage) dengan kedudukan yang utama untuk saudara laki-laki dari pihak ibu.
Temuan Geise tentang sistem kekerabatan Orang Baduy yang sebagaimana model Van Wouden itu dibantah oleh Berthe, sebab ia menganggap bahwa model klasik yang diajukan itu hampir tidak bisa dipakai untuk menelaah kekerabatan Orang Baduy. Kalau bisa dipakai pun, seharusnya akan diperoleh sesuatu istilah untuk saudara laki-laki dari pihak ibu di dalam terminologi kekerabatan Orang Baduy. Dalam kenyataannya Geise tidak menyebutkan istilah itu. Namun begitu, Berthe berdasarkan kekerabatan Orang Baduy mengidentifikasi atas sesuatu sifat yang khas Orang Sunda, yaitu perlawanan (oposisi) antara kakak dan adik.
Dari perlawanan itu ada kecenderungan yang dianggap paling baik bagi perkawinan anak laki-laki yang pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis keturunan yang lain. Kemudian hal yang dianggap penting dalam kaitan dengan ketentuan itu adalah adik tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal). Dalam prakteknya pada Orang Baduy tidak terdapat perbedaan antara sepupu persamaan (paralel-cousins) dan antarsepupu (cross-cousins) (Garna,1987), sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, yang menurut Berthe (2000) dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat. Atau, istilah Orang Baduy menyebut dengan baraya.
Dalam kaitan itu, Garna (1988), melihat bahwa antara dangka dan tangtu adalah seperti rangka dengan isi yang pasti, yaitu tangtu merupakan nenek moyang atau karukun yang dengan istilah lain sebagai pusat dan dangka sebaga isi dari seluruh keturunannya. Dangka adalah tempat tinggal bagi warga tangtu yang untuk sementara waktu tinggal di sana karena melanggar adat sebagaimana ditentukan oleh nenek moyang. Untuk sementara sampai dosanya dianggap lebur, orang tangtu yang tinggal di dangka sebenarnya masih satu keluarga dengan warga kampung tangtu yang mengirimkan mereka ke sana. Jika mereka yang di dangka itu tidak dapat atau tidak mau kembali ke tangtu, maka mereka tetap merupakan kerabat dekat. Dari istilah warga dangka mereka itu disebut kaum dangka, dan sebutan tersebut menunjukkan bahwa mereka masih segolongan atau sekerabat dengan warga tangtu.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa warga kampung tangtu berkerabat dekat dengan 3 kampung. Tangtu Cikeusik berkerabat dekat dengan warga dangka Cibengkung, Kompol dan Kamancing, sedangkan Tangtu Cibeo berkerabat dengan dangka Cihandam, dan tangtu Cikertawana berkerabat dekat dengan dangka Cilenggor, Nungkulan dan Panyaweuyan. Ikatan kerabat yang dekat itu berlaku pula terhadap warga yang tinggal di kampung-kampung Baduy-luar atau mereka menyebut panamping yang warganya disebut kaum daleum. Warga kampung tangtu Cikeusik berhubungan kerabat yang erat dengan warga kampung Pamoean dan Cipiit, tangtu Cibeo dengan kampung Gajeboh, Kaduketer, dan kampung Cihulu, sedangkan warga tangtu Cikertawana berkerabat dekat dengan warga kampung Cikopeng.
Dalam perkembangannya kampung-kampung kaum daleum kini semakin bertambah, dengan jumlahnya menjadi 12 buah kampung pada tahun 1986. Pengembangan dari kampung induk merupakan pengembangan kerabat kaum daleum dari kampung induknya, sehingga dengan sendirinya mereka pun terkait pula dengan kampung asalnya di tangtu.
Kelompok Asal Keturunan
Orang Baduy mengelompok menurut asal keturunan tangtu, yaitu keluarga luas yang tinggal dalam satu kampung. Ada 3 kelompok kekerabatan dalam kesatuan orang tangtu, yaitu tangtu Cikeusik, tangtu Cikertawana dan tangtu Cibeo. Adapun hirarki kekerabatan itu sesuai dengan urutan dari yang paling tua ke yang paling muda, yaitu Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Menurut Garna (1988), walaupun cenderung terdapat orientasi kepada pihak ibu (ambu), biasanya seorang pria membawa istrinya ke kampung tangtu tempat tinggal keluarga luasnya dan membuat rumah baru. Namun dalam upacara-upacara keagamaan Sunda Wiwitan mereka mengikuti kampung asal istrinya. Keadaan itu tampaknya tidak berlaku mutlak untuk seorang wanita yang mengikuti keluarga luas suaminya, karena seorang pria juga dapat mengikuti istri ke kampung asalnya.
Seluruh Desa Kanekes terbagi dalam dua wilayah penting, yaitu wilayah tangtu (sakral) dan wilayah panamping (profan). Makin ke arah selatan daerahnya makin sakral, dan daerah tersuci adalah hulu Ciujung, tempat Sasaka Pusaka Buana yang lebih dikenal dengan sebutan Sasaka Domas. Derajat sakral menurut bagian kampung dengan arah seperti itu berlaku pula dihampir setiap kampung panamping. Rumah kokolot (ketua adat dan agama) adalah daerah sakral dan bagian belakang rumah biasanya bersambung ke hutan kampung. Di daerah kampung tangtu yang sakral pun masih terdapat daerah tersakral yang tidak boleh diinjak orang luar, yaitu rumah puun dan daerah sekitarnya.
Dalam kaitan itu, mitologi Baduy mengungkapkan bahwa Batara Tunggal Karang menurunkan 7 anak (batara) yang memerintah di 7 wilayah, yaitu Parahyang, Jampang, Sajra, Jasinga, Bombang dan Banten. Dalam kaitan ini sistem kekerabatan orang Baduy terkait dengan organisasi sosial Banten (Berthe, 1965). Para puun diturunkan dari garis tua atau kakak sedangkan sultan-sultan Banten dari garis muda atau adik yang mempunyai peranannya masing-masing sesuai dengan hirarki tersebut (Garna, 1988).
Pembagian yang memotong seluruh warga masyarakat Baduy dalam dua paroh masyarakat, yaitu tangtu dan panamping, menentukan posisi masing-masing dalam rangka suatu kesatuan masyarakat. Peranan untuk saling mengendalikan dan mengawasi ditentukan oleh sistem pajaroan yang dibentuk serta dipimpin oleh tangtu atau tiga puun. Puun mengangkat seorang jaro, yaitu tanggungan jaro duawelas yang bertugas mengawasi para jaro, terutama para jaro di panamping dan kampung dangka.
Dalam pamarentahan Baduy dikenal suatu sistem pemimpin yang meliputi sejumlah pejabat dengan sebutan sendiri-sendiri. Orientasi setiap pemimpin kepada pemimpin tertinggi, yakni para puun. Mereka dianggap satu kesatuan pemimpin tertinggi untuk mengatasi semua aspek kehidupan di dunia dan mempunyai hubungan dengan karuhun. Dalam kesatuan puun tersebut senioritas ditentukan berdasarkan alur kerabat bagi peranan tertentu dalam pelaksanaan adat dan keagamaan Sunda Wiwitan. Puun memiliki kekuasaan dan kewibawaan yang sangat besar, sehingga para pemimpin yang ada di bawahnya dan warga masyarakat Baduy tunduk dan patuh kepadanya. Berdasarkan konsep itu dalam menjalankan pemerintahannya, semua lingkup dan mekanisme menjalankan kekuasaan tercakup dalam tiga tangtu dan tujuh jaro.
Asal Pemimpin
Untuk mengetahui asal mula pemimpin dan pamarentahan Baduy dapat ditelusuri dari folklor yang hidup di tiga daerah tangtu yang berkaitan dengan manusia pertama yang turun ke dunia. Tempat mula menurunkan para Batara sebutan lain untuk para leluhur mereka, adalah di Sasaka Domas yang setelah menurunkan para Batara kemudian turun para daleum, peristiwa itu mereka menyebutkan sebagaimana dikehendaki oleh nu ngersakeun. Karena itu, tempat tersebut merupakan pusat dunia (Pancer Bumi) dan tempat suci dari suatu awal kelahiran manusia serta Mandala Sunda.
Batara Patanjala merupakan anak laki-laki kedua dari Batara Tunggal yang mempunyai 7 orang anak, 6 orang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka itulah oleh Orang Baduy dikenal sebagai nenek moyang Orang Tangtu. Ketujuh anak Batara Pantajala, ialah daleum Janggala, daleum Lagondi, daleum Putih Seda, daleum Cinangka, daleum Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu.
Daleum Janggala menurunkan puun Cikeusik, daleum Langondi menurunkan Puun Cikertawana. Dan daleum Seda Hurip penurunkan puun Cibeo. Sedangkan daleum Cinangka menurunkan para girang seurat, daleum Sorana, menurunkan para kokolot dan Nini Hujung Galuh menurunkan para jaro dangka.
Dalam perkembangannya kemudian, setelah semua batara dan daleum menghilang, maka tinggal para puun yang meneruskan kehadiran manusia di dunia. Itu maknanya, bahwa dari mulai ada alam dan dunia hanya dihuni oleh dua orang, yaitu sepasang puun, yakni puun Cikeusik. Tuturan tersebut, mengemukakan bahwa puun Cikeusik lah manusia pertama yang ada di dunia. Manusia pertama di dunia atau yang tertua adalah sepasang, yaitu puun Cikeusik. Baru kemudian menyusul puun Cikertawana dan Cibeo. Tuturan lainnya, menyebutkan, bahwa kejeroan semuanya adalah anak-cucu puun perempuan. Anak puun Cikeusik menjadi puun Cibeo, anaknya kemudian menjadi puun Cikertawana.
Asal Pamarentahan Baduy
Dengan demikian, bagi orang Baduy seorang pemimpin dalam pamarentahan (jaro, girang seurat, tangkesan kokolotan, kokolot, dan baresan), berasal dari keturunan para puun yang artinya, satu sama lain terikat oleh garis kerabat. Dalam konteks itu, ciri penting dalam pamarentahan Baduy, terletak pada diferensiasi peran dan pembagian jabatan yang terpisahkan melalui struktur sosial, namun semuanya terikat oleh satu hubungan kerabat yang erat.
Perbedaan peran yang mendasar antara para pemimpin yang disebut puun dan yang disebut para jaro, adalah pada tanggung jawab yang berurusan dengan aktivitasnya, karena para puun berurusan dengan dunia gaib sedangkan para jaro bertugas menyelesaikan persoalan duniawi. Atau, dengan perkataan lain, para puun berhubungan dengan dunia sakral dan para jaro berhubungan dengan dunia profan. Oleh karena itu, para puun menerima tanggung jawab tertinggi pada hal-hal yang berhubungan dengan pengaturan harmonisasi kehidupan sosial dan religius, sehingga kehidupan warga masyarakatnya dapat berlangsung dengan tertib.
Dalam situasi seperti itu warga masyarakat dituntut patuh memenuhi ketentuan pikukuh yang telah digariskan para karukun. Pelanggaran terhadap pikukuh berarti telah siap menerima hukuman berupa pengusiran dari daerah tangtu. Atau, bagi masyarakat panamping melanggar ketentuan itu berarti harus menangung kewajiban bekerja di huma puun, yang lamanya disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran.
Pamarentahan Baduy
Di rumah, kepala keluarga inti mengatur kehidupan para anggota keluarganya, termasuk pengawasan sosial terhadap aturan adat. Urusan dan pengaturan yang dilakukannya ialah membina kehidupan keluarga intinya, berhuma, hubungan dengan kaum kerabat, melakukan perhitungan untuk menentukan saat mulai menanam, bepergian, menyelenggarakan perkawinan, pengasuhan, pendidikan anak dan turut serta dalam berbagai upacara.
Pada tingkat kampung ada beberapa jenis pemimpin. Di kampung dangka terdapat seorang pemimpin adat dan agama yang disebut jaro dangka. Ia meneruskan dan mengawasi ketentuan karuhun yang disampaikan melalui puun, dan ia juga dapat berkumpul di tangtu dalam upacara keagamaan penting. Selain itu, jaro dangka juga diharuskan turut serta dalam upacara membersihkan kampung tangtu dari dosa yang ditinggalkan oleh si pelanggar.
Dalam pamarentahan Baduy, ada dua orang yang dituakan dalam kampung panamping namun berfungsi berbeda, yaitu: pertama, kokolot lembur. Yang menjadi pemimpin pikukuh. Ia bertugas atas nama puun untuk mengawasi, mengatur, dan melaksanakan ketentuan puun. Kedua, kokolotan lembur yang kedudukannya sejajar dengan ketua rukun kampung dalam sistem pemerintahan formal. Rumah kokolot lembur dianggap sakral yang tidak boleh diinjak orang asing. Karena itu, rumah kokolot terletak di bagian paling ujung dari jajaran paling luar yang berbatasan langsung dengan hutan kampung. Hal itu, maksudnya agar para guriang yang kehadirannya dianggap penting sebagai penjaga keselamatan masuk ke kampung melalui rumah kokolot.
Pemimpin kampung tangtu adalah jaro tangtu. Ia bertugas sebagai kokolot lembur dan sekaligus pula bertindak sebagai kokolotan lembur. Selain itu, ia pun harus turut serta seba ke ibukota kabupaten di Rangkasbitung dan keresiden Banten yang kini Gubernur di Serang. Jaro tangtu diangkat menurut alur keturunan dari para jaro terdahulu, yang disiapkan oleh pikukuh langsung di bawah tangkesan dan pengawasan puun. Apabila calon jaro tangtu dianggap siap, walaupun ia masih muda, ia dapat saja diangkat.
Dalam pamarentahan Baduy, istilah jaro banyak digunakan. Arti kata jaro sendiri adalah ketua kelompok atau pemimpin. Pada tingkat panamping terdapat seorang jaro yang tidak hanya mengurus dan mengatur seluruh jaro, tetapi juga berkuasa mutlak sebagai pengawas serta pelaksana tertinggi pikukuh di panamping. Dari keduabelas jaro, yaitu tiga jaro tangtu, tujuh orang jaro dangka, seorang jaro warega, dan seorang jaro pamarentah, maka ia adalah koordinator kerja para jaro yang dalam pamarentahan Baduy dikenal dengan sebutan jaro duawelas. Jaro warega berperan dalam upacara keagamaan, terutama untuk persiapan dan pelaksanaan seba, tetapi pada posisi pimpinan dalam Sunda Wiwitan, ia adalah pembantu utama tanggungan jaro duawelas.
Jaro pamarentah, adalah jaro Kanekes, kepala desa yang pengangkatannya disetujui oleh kedua belah pihak, para puun dan pemerintah daerah. Acuan ke atas juga dua yaitu puun dan camat. Karena itu seorang jaro pamarentah merupakan pengimbang di antara kedua kategori pemimpin itu, yang dengan penuh bijaksana harus mampu melaksanakan semuanya. Masa kerja seorang jaro pamarentah tergantung dari lamanya dan sejauh mana ia mampu melaksanakan kebijaksanaan pengimbang dimaksud. Jaro pamarentah dibantu oleh paling tidak tiga orang pembantu utama, yaitu carik adalah juru tulis desa yang selalu berasal dari luar Kanekes, dan dua orang pangiwa, pembantu jaro pamarentah yang berasal dari panamping.
Pada tingkat tangtu terdapat tiga puun, yang tidak hanya menjadi pemimpin agama dan adat tertinggi di kampung tangtu, tetapi juga untuk seluruh Kanekes. Semua pemimpin bawahan termasuk jaro pamarentah harus tunduk kepada mereka. Puun dalam menjalankan aktivitasnya dibantu oleh sejumlah pejabat adat dan agama. Pejabat adat dan agama tertinggi yang berfungsi sebagai penasihat ialah tangkesan yang juga disebut dukun putih. Ia biasanya berasal dan berkedudukan di kampung Cikopeng. Dukun-dukun pada tingkat kampung lainnya selain berada di bawah pengawasan puun juga diamati oleh tangkesan.
Puun mempunyai staf yang lengkap, seperti seurat atau girang seurat yang menjadi pembantu puun untuk berbagai hal. Jabatan seurat hanya ada di Cikeusik dan Cibeo, tetapi tidak ada di Cikertawana. Jaro tangtu membantu seurat dan puun secara langsung. Penyampaian berita dan lain-lainnya dilakukan oleh pembantu umum. Jumlahnya tergantung dari kekerapan kerja, upacara dan pelaksanaan pikukuh.
Semacam dewan penasihat puun terdapat di setiap kampung tangtu, yang disebut baresan (barisan, dewan atau kumpulan) atau sering disebut baresan salapan, karena terdiri dari sembilan orang tokoh, termasuk jaro tangtu, seurat dan lainnya. Fungsi baresan adalah membantu puun dan jaro tangtu memecahkan berbagai masalah dan melaksanakan pikukuh.
Dengan demikian seorang puun didukung oleh panasihat batin melalui tangkesan dan penasihat pelaksanaan pikukuh oleh baresan salapan. Pengawasan para puun mampu menjangkau wilayah dan seluruh warga Kanekes melalui tanggungan jaro duawelas dan dukun-dukun lembur serta kokolot dan kokolotan lembur.
Dalam konteks itu, pamarentahan Baduy berfungsi untuk mensucikan dan membuat tapa dunia, termasuk memelihara alam sebagai pusat dunia, sedangkan dunia beserta isinya dijaga oleh keturunan muda, dan sultan-sultan Banten yang harus membuat dunia ramai.seorang pemimpin agama dihubungkan dengan garis keturunan yang paling tua, sedangkan seorang pemimpin politik dihubungkan dengan garis keturunan yang paling muda. Kekuasaan agama dihubungkan dengan para leluhur atau karuhun dan kekuasaan politik dihubungkan dengan aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itu artinya, seorang pemimpin agama mewujudkan identatis masyarakat Baduy, sedangkan seorang pemimpin politik mengurus kehidupan duniawi termasuk mengurus dan memelihara kelestarian tanah.
Untuk melangsungkan aktivitasnya itu, kegiatan duniawi dipusatkan di tangtu Cibeo, sedangkan aktivitas ritual dan keagamaan berada di tangtu Cikeusik. Namun tangtu dalam menjalankan aktivitasnya itu saling menyokong dan sekaligus saling terikat. Karena diantara keduanya saling memberikan pengaruh untuk mengokohkan tradisi Baduy yang bersandar pada pikukuh karuhun, yaitu: ‘nu lain kudu dilainkeun, nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun’. Artinya, yang bukan harus dikatakan bukan, yang benar harus dikatakan benar dan yang dilarang harus dikatakan dilarang.
DAFTAR PUSTAKA
Berthe, Louis. 2000. Kekerabatan, Kekuasaan dan Cara Berproduksi. Terjemahan Judistira K. Garna. Bandung: Primaco Akademika.
Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. 1985. Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung Proyek Sundanologi, Dep. Pendidikan & Kebudayaan R.I.
Garna, Judistira K. 1987. Orang Baduy. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
Garna, Judistira K. 1988. Tangtu Telu Jaro Tujuh Kajian Struktutal Masyarakat baduy di Banten Selatan Jawa Barat Indonesia. Tesis Ph.D. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Geise, N.J.C. 1952 Badujs en Moslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten. Disertasi. Leiden.
Jacobs, J. dan J.J. Meijer. 1891. De Badoej’s. ‘s-Gravenhage: Martionus Nijhoff.
Kartawinata, Ade Makmur. 1993. Baduy Bubuara Menatap Tanah Harapan. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Kartawinata, Ade Makmur. 1995. Tidak Sekadar Program Bantuan atau IDT: Konsep Pembangunan Masyarakat Baduy. Pikiran Rakyat, 9 Maret, halaman 8.
Kartawinata, Ade Makmur. 2000. Pamarentahan Baduy di Kanekes. Makalah pada Simposium Internasional II Jornal Antropologi Indonesia. Padang, 18 – 21 Juli.
Pleyte, C.M. 1910. Badoejsche geesteskinderen. Tijdschrift voor Bataviaschap, deel 54, afl. 2, 3-6.
_______________________________________________________________________________
Pantun Buhun Urang Kanekes
DN. Halwany
Masyarakat
Baduy yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan
merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang
terisolasi dari perkembangan dunia luar. Kontak mereka dengan dunia luar
telah terjadi sejak abad 16 Masehi, yaitu dengan Kesultanan Banten.
Sejak saat itu berlangsunglah tradisi seba sebagai puncak pesta panen dan menghormati kerabat non Baduy yang tinggal di luar Kanekes. Bagi Kesultanan Banten tradisi Seba tersebut diartikan sebagai tunduknya orang Baduy terhadap pemerintahan kerajaan setempat (Garna,1993). Sampai sekarang upacara Seba tersebut
terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi,
palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Di bidang pertanian
penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat lain yang bukan
Baduy, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh. Perdagangan
yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah
mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Baduy menjual hasil
buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka
juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar.
Pasar bagi orang Baduy terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar
Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Disamping
itu, orang Baduy di Kanekes, sejak para karuhun memiliki syair-syair
atau pantun-pantun. Adapun syair ataupun pantun tersebut menggunakan
bahasa yang dipergunakan sebagai media utama dalam lisan sehari-hari
Baduy tapi mengandung pituah, perintah, adalah Bahasa Sunda dialek Baduy
yang telah meninggalkan Kanekes beserta segala pranata masyarakatnya.
Dalam hal ini seperti adat kepercayaan, kebiasaan, yang bertumpu pada
akar keklasikan serta banyaknya kata-kata dan untaian kalimat Sunda
Kuno. Dikalangan masyarakat Baduy Kanekes, unsur Sunda Kuno itu lebih
banyak dibanding yang terdapat dikalangan masyarakat Sunda luar Kanekes.
Hal itu dikarenakan sangat gugon tuhonnya mereka memelihara peninggalan
karuhun termasuk didalamnya bahasa. Hal itu ditopang pula oleh sangat
jarangnya persentuhan mereka dengan budaya luar. Terutama di Tangtu
Telu, Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik. Karenanya, merekapun sangat tidak
mengenal undak usuk basa. Bagi orang Tangtu undak usuk basa sangat
asing. Contoh, untuk orang pertama dengan siapapun mereka berbicara
mempergunakan sebutan aing, untuk orang kedua dipergunakan sebuatan sia.
Orang Baduy Kanekes, sangat demokratis dalam berbahasa. Berikut beberapa contoh sastera lisan yang dikenal di kalangan Masyarakat Baduy:
Mantera
Bentuk-bentuk
mantera sastera lisan yang terdapat di Baduy Kanekes, diantaranya
Mantera, Pantun, Pikukuh, Pitutur, Susuwalan, Riwayat, Cerita Rakyat dan
Legenda. Adapun bentuk yang tertua dilihat dari segi bahasa, kandungan
isi dan falsafah, serta nafas, ialah Mantera. Aki Puun Djainte dari
Baduy Jero Cikeusik, menuturkan bahwa mantera, jauh lebih tua dari
pantun serta Sastera Bambu. Mantera terdiri dari beberapa tingkat. Tua,
pertengahan dan muda. Mantera ini juga ditentukan peruntukannya, seperti
halnya untuk apa mantera diucapkan, tahun berapa keberadaan dari
mantera tersebut, serta bahasa yang dipergunakannya. Namun betapapun
mudanya usia sesuatu Mantera, fungsinya dalam kehidupan ritual
masyarakat Baduy, menempati urutan yang teratas. Hal ini sejajar dengan
kedudukan serta wibawa pikukuh. "Bisina kagetrak kagetruj, mangkana kudu
nyanybla ku omong" (untuk menjaga ada yang tergores, kita harus pamit
terlebih dahulu). Ujar Jaro Inas tahun 1980, Dukun Pantun dari Baduy
Jero Cikeusik, tentang mantera.
Berikut salah satu contoh mantera maysrakat Baduy :
Sapun awaking reuk make pasang panjang pasadun pok sablapun
Meunag Ahung tujuh kali
Ahung deui
Ahung deui
Ahung malungga
Ahung malingga
Ahung mangdegdeg
Ahung mangandeg
Ahung manglindu asih
Ka Ambu aing Sira mangambung
Ka Bapa aing Sira mangumbang
Pangjungjungkeun panglawungkeun
Ku Ambu aing sira manglaung
Ku Bapa aing sira mangumpang
Pangnyambungkeun aing saur pangngapakeun aing saba
Ka luhur ka mega beureum
Ka mega hideung
Ka mega si karambangan
Ka mega si kareumbingan
Ka mega si karenten
Ka mega si kalambatan
Ka mega si kaleumbitan
Ka mega ssi antrawela
Ka kocapna
Ka ucapna
Ka Puncakning ibun
Ka guru putra hiyang bayu
Ka nu weang nyukcruk ibun
Ahung.......
(dari pantun: Langgasari Ngora)
Tingkatan
mantera yang dikutip dari mantera yang dipakai dalam Pasundan Pantun
Baduy tersebut, termasuk Mantera tingkat pertengahan. Berikut adalah
kutipan dari Mantera yang lebih muda, diambil beberapa bait dari Mantera
pada upacara Ngareremokeun (mengawinkan) Nyai Pohaci dengan Bumi. Suatu
upacara yang dinamakan pula Ngaseuk. Dalam tradisi Adat sunda Wiwitan,
masa Ngaseuk adalah masa Ngareremokeun padi yang diberi nama sangat
indah, agung dan puitis; Nu Geulis Nyai Pohaci Sri Dangdayang
Tresnawati, dengan Tanah atau Bumi yang bergelar sangat perkasa:
Weweg sampeg, Mandala pageuh
Mangka tetep mangka langgeng
Mangka langgeng tunggal tineung
Datang hiji datang dua
Datang tilu nungku nungku
Datang opat ngawun ngawun
Datang lima lingga emas
Datang genep nguren nguren
Datang tujuh lilimbungan
Puluhan tanpa wilangan
Terjemahan bebasnya oleh DH. NEH:
Semoga menetap semoga bahagia
Semoga sentausa menyatu kasih
Datang satu datang dua
Datang tiga berangkulan
Datang empat berpasanagan
Datang lima lingga cerlang
Datang enam berpasangan
Datang tujuh menyatu kasih
Berpuluh tidak terhitung
Sedang
dalam Mantera mengundang kehadiran Nyai Pohaci Dangdayang Tresnawati
pada acara Tari Baksa untuk memeriahkan Ngeslamkeun anak anak Baduy
Kanekes, antara lain berbunyi:
Calik calik nu geulis
Nyai Sri calik di dieu
Unggah ka pasaran lega
Geusan sia gagayahan
Geusan sia gagayahan
Di gedong manik mandala pageuh
Lemut teuing ku buruanana
Lesang teuing ku bojana
Nu geulis ranggeuy mirikiniknik
Bar ngampar ku samak metruk
Gasan bujang kasangna bagus
Gasan Nyai tes netepan
Ngajepret palisir bodas
Terjemahan bebasnya oleh DH. NEH:
Silakan singgah nan cantik jelita
Nyai Sri dudukdisini
Naik ke halaman luas
Kalulah jelita pembawa kesuburan
Kaulah jelita pembawa kemakmuran
Duduklah di singgasana manik mandala perkasa
Indahnya halaman yang terhampar
Molek istana yang tersedia
Betapa pemurahnya wahai dikau jelita
Nan cantik molek pembawa kemakmuran
Duduklah beralas tikar kedamaian
Di tempat istirahat indah alamnya
Tempat Nyai menyantaikan diri
Berbaring tenang dengan tentram.
Adapun
Mantera dalam jenis tinggi berusia tua, hanya di sablakan pada upacara
sakral seperti pada jarah ke Sasaka Domas atau Sasaka Mandala, satu
tahun sekali. Pengsablaannya (pembacaan mantera) Hanya dilakukan oleh
Girang Puun dari Tangtu Padaageung (Baduy Jero Cikeusik). Sedangkan
pengsablaan mantera tua pada upacara sakral Ngalaksa dan Ngawalu
tersebut, hanya dapat dilaksanakan Baris Kolot (tertua) tertentu dari
Baduy Jero (Tangtu) atau Baduy Luar (Panamping). Karenanya, wajarlah
jika Sastera Lisan Baduy berbentuk Mantera tersebut, hanya dikuasai oleh
beberapa Baris Kolot saja. Sehingga dikawatirkan keadaan atau
kelestariannya akan cenderung menghadapi kepunahan. Paling tidak ada
generasi penerusnya. Bahasa yang dipergunakan Mantera yang biasa dipakai
para Girang Puun, waktu Jarah atau Muja ke Sasaka Pusaka Mandala atau
Sasaka Domas, ialah bahasa Sunda Kuno.
Pikukuh,
adalh Hukum Adat Baduy Kanekes, yang menyumber pada keyakinan Sunda
Wiwitan. Diturunkan dengan lisan turun temurun sejak kurun tahun tidak
terhitung. Terjalin dalam untaian kata dan kalimat, berbentuk puisi
serta prosa lirik. Seperti: Lonjor teu beunang dipotong, pondok teu
beunang disambung (panjang tak dapat dipotong, pendek tak dapat
disambung).
Pun Sapun ka Luluhuran sakabeh Aing Menta panjang nya pangampurna!
Penulis adalah: Girang Puhu Bale Budaya Baduy Yayasan "Paku Tangtu Telu"
(sumber:http://perpushalwany.blogspot.com)
____________________________________________________________________________________________
Pernikahan Adat Baduy
Oleh DN. Halwany
Buyut nu dititipkeun ka puun
Negara satelung puluh telu
Bagawan sawidak lima
Pancer salawe nagara
Baduy
adalah suatu masyarakat yang tradisional yang hidup di dalam sisi barat
dari pulau Jawa, Indonesia. Masyarakat ini masih primitif, karena cara
hidup mereka mengacu pada sebagian model lama. Di dalam zaman
globalisasi mereka masih bertahan hidup dengan prinsip-prinsip hidup
yang lama penuh dengan kearifan lokal. Urang
"BADUY" Kanekes, yang bermukim di Pegunungan Kendeng, Banten Selatan,
sebagai masyarakat tradisi murni, yang masih kuat menampakan ciri-ciri
budaya Nusantara sebelum kedatangan Hindu dan Budha. Diantaranya,
penghormatan kepada Roh Karuhun (leluhur) serta tercemin pula dalam
sementara bentuk sastra lisannya yang mengandung nilai falsafah Sunda
buhun, seperti pada mantera. Sampai kini pada era globalissasi
komunikasi, pada penghujung Abad XX, masih kuat dan mantap berdiri
dengan jatidirinya. Urang Baduy, baik secara etnis, geografis, sejarah,
bahasa, juga dalam pengakuan mereka sendiri Urang Baduy adalah Urang
Sunda. Untuk membedakan dengan Orang Sunda lainnya yang bertempat
tinggal dan berasal di luar daerah Kanekes, mereka menamakan dirinya
Sunda Wiwitan. Adapun istilah Sunda Wiwitan bagi orang Baduy Kanekes,
pengertiannya tidak hanya terbatas pada etnik atau sub etnik, tapi juga
meliputi geografis, sejarah, bahasa, budaya termasuk adat dan
kepercayaan. Ada satu penuturan orang Baduy yang berbunyi: "Geunna kami
ieu tah, ti nu Karolot geh, Urang Sunda bae, Sunda Wiwitan. Apanan kami
ieu tah, cicing di tanah Sunda, nu Karolot urang Sunda, omong Sunda,
agama Sunda". Arti bebasnya kira-kira: "Kami ini, sejak Leluhur Orang
Sunda, Sunda Wiwitan. Sebab kami diam di tanah Sunda, Leluhur orang
Sunda, bahasa kami Sunda, agama Sunda". Demikian dikatakan Aki Puun di
saung rumahnya yang berada di Kawasan Baduy Jero Cibeo kepada penulis.
Yang
dimaksud Puun, ialah pimpinan tertinggi adat serta pemerintahan adat
dan agama. Puun juga merupakan pimpinan tertinggi dalam lembaga ilmu
pengetahuan, seperti lembaga untuk meneliti peredaran bintang dalam
menentukan penanggalan (kalender) Baduy, hal ini juga bisa dipakai untuk
menentukan masa mulai menggarap ladang serta menuai padi. Meneliti
garis sastera Bambu untuk menentukan hari kelahiran, perkawinan dan
lainnya. Dalam pernikahan di Baduy merupakan sebuah proses yang bukan
main-main di kalangan warga Baduy, karena setelah menikah pasangan suami
istri tersebut mau tak mau harus sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri. Oleh karena itu, sebelum adat pernikahan berlangsung ada
serangkaian proses adat yang harus dijalankan calon mempelai laki-laki.
Adapun proses sebelum pernikahan tersebut melalui tiga proses yaitu
lamaran yang diajukan dari keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.
Lamaran pertama diajukan untuk mengungkapkan keinginan
meminang anak perempuan (menyatakan keseriusan dari pihak laki-laki
kepada pihak perempuan). Setelah delapan bulan, lamaran kedua diajukan. Lamaran kedua merupakan bukti kesungguhan keluarga laki-laki menikah dengan anak perempuan keluarga itu. Selang lima bulan, lamaran ketiga diajukan, dan jika disetujui pernikahan dapat segera dilangsungkan.
(sumber:http://perpushalwany.blogspot.com)
__________________________________________________________________________________________
Bertani Adat Leluhur Baduy
DN. Halwany
Masyarakat
Baduy tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,
Propinsi Banten. Luas wilayah keseluruhan pada saat ini, berdasarkan
Peraturan Daerah (Perda) No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak
Ulayat Masyarakat Baduy adalah 5.101,85 hektar. Namun demikian
masyarakat tersebut tetap menjalankan adat istiadat yang diturunkan
nenek moyangnya secara arif dan taat, dan hingga sekarang masih dapat
bertahan di lingkungan alamnya. Cara hidup dan perilaku tradisional di
tengah masyarakat yang berkembang menjadi unik dan menarik. Masyarakat
Baduy memiliki beberapa kearifan tradisional yang berkaitan dengan
lingkungan hidupnya, antara lain dalam pola pertanian yang khas dan
konsep tentang hutan dan kelestariannya. Mereka membagi dan
menggolongkan hutan sesuai dengan fungsinya, yaitu hutan untuk
konservasi dan hutan untuk dimanfaatkan, sebagaimana pada masyarakat
Kasepuhan Halimun (Nugraheni & Winata, 2003), dan diduga mereka
mempunyai asal usul ataupun hubungan yang erat yang bersumber dari
kebudayaan Sunda Hindu kuno peninggalan Kerajaan Pajajaran sekitar 600
tahun yang lalu.
Gambaran Ekologis dan Etnografis Masyarakat Baduy
Bahasa yang mereka gunakan tergolong ke dalam Bahasa Sunda dengan subdialek Sunda–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa
Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari
sekolah. Orang Baduy tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat
istiadat, agama, dan ceritera nenek moyang hanya tersimpan di dalam
tuturan lisan saja. Apabila kita menanyakan mengenai asal usul orang
Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara
Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal
usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek
moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya,
termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita)
untuk menjaga harmoni dunia. Pendapat mengenai asal-usul orang Baduy
tersebut adalah berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang
mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah
berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan
ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minimal keberadaannya.
Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut
sebagai Kerajaan Pajajaran, pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam
ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian
penting dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor
sekarang). Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai
Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa
wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap
bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah
sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan
mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng
tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut
tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang
masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut
(Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan
bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja
ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri
dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Kepercayaan
masyarakat Baduy yang disebut sebagai ‘Sunda Wiwitan’ berakar pada
pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan
selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti
kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Baduy (Garna, 1993). Isi terpenting dari pikukuh
Baduy tersebut adalah konsep ‘tanpa perubahan apapun’, atau perubahan
sesedikit mungkin. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari
diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh
tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga
cara berladang adalah sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan
bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu
sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur
permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah
Baduy seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan merekapun
jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak
melakukan tawar menawar.
Objek
religi terpenting bagi Masyarakat Baduy adalah Arca Domas, yang
lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Baduy
mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setiap tahun sekali
pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli.
Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan
beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan
pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang
yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu
lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi
Masyarakat Baduy itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut
akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila
batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan
panen (Permana, 2003a). Masyarakat Baduy secara umum terbagi menjadi
tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu
adalah yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti
adat, yaitu warga yang tinggal di 3 kampung (Cibeo, Cikertawana, dan
Cikeusik). Sedangkan kelompok masyarakat panamping adalah yang
dikenal sebagai Baduy Luar yang tinggal di berbagai kampung yang
tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kadu Ketuk,
Kadu Kolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Apabila Baduy Dalam
dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka Baduy Dangka tinggal di
luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa,
yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirah Dayeuh (Cihandam). Kampung Dangka
tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
Masyarakat
Baduy mengenal 2 sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang
mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat
yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat Baduy. Kedua
sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga
tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Baduy dipimpin oleh
kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Baduy yang tertinggi, yaitu Puun.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Baduy adalah Puun yang ada di 3 kampung tangtu.
Jabatan tersebut berlangsung turun temurun, walaupun tidak otomatis
dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu
jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut. Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan dilaksanakan oleh Jaro. Di Baduy ada 4 macam jaro, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka ini ada 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Baduy dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).
Interaksi Masyarakat Baduy dengan Masyarakat Luar
Masyarakat
Baduy yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan
merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang
terisolasi dari perkembangan dunia luar. Kontak mereka dengan dunia luar
telah terjadi sejak abad 16 Masehi, yaitu dengan Kesultanan Banten.
Sejak saat itu berlangsunglah tradisi seba sebagai puncak pesta panen dan menghormati kerabat non Baduy yang tinggal di luar Kanekes. Bagi Kesultanan Banten tradisi Seba tersebut diartikan sebagai tunduknya orang Baduy terhadap pemerintahan kerajaan setempat (Garna, 1993). Sampai sekarang upacara Seba tersebut
terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi,
palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Di bidang pertanian
penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat lain yang bukan
Baduy, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh. Perdagangan
yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah
mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Baduy menjual hasil
buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka
juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar.
Pasar bagi orang Baduy terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar
Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pola Pertanian Tradisional Masyarakat Baduy
Sistem
perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah dipraktekkan
selama berabad-abad dan merupakan bentuk pertanian yang paling awal di
wilayah tropika dan subtropika. Sistem pertanian dilakukan adalah
tanaman pangan dalam waktu dekat (pada umumnya 2 – 3 tahun), dan
kemudian diikuti dengan fase regenerasi atau masa bera yang lebih lama
(pada umumnya 10 – 20 tahun). Pembukaan hutan biasanya menggunakan alat
sederhana, dilakukan secara tradisional, dan menggunakan cara tebang
bakar (Nair, 1993). Pada waktu hutan dibuka maka tumbuhan alam yang
berguna biasanya dibiarkan atau sedikit disiangi dan dimanfaatkan
hasilnya. Lama waktu perladangan dan masa bera atau masa lahan
diistirahatkan adalah sangat bervariasi, dan lama masa bera merupakan
faktor kritis bagi regenerasi kesuburan tanah, keberlanjutan, dan hasil
pertanian yang didapatkan. Regenerasi kesuburan tersebut melibatkan
tumbuh kembalinya tanaman tahunan atau tumbuhan asli (Nair, 1993).
Masyarakat
Baduy yang masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman Kerajaan
Sunda (Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah
tersebut sejak kurang lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma
untuk ditanami padi selama 1 sampai 2 tahun, dan kemudian ketika hasil
panen telah menurun akan meninggalkan huma tersebut dan membuka kembali
huma baru dari bagian hutan alam yang mereka peruntukkan bagi
kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada suatu saat akan diolah
kembali dan periode masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai 10 tahun.
Namun demikian, karena wilayah Baduy yang semakin sempit ditambah dengan
pertambahan penduduk, maka lahan huma yang tersedia juga semakin sempit
sehingga dari tahun ke tahun masa bera ladang menjadi semakin pendek,
yaitu 3 sampai 5 tahun. Hal tersebut merupakan indikator terjadinya
penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung secara ekologis. Pada saat
penelitian dilakukan, wilayah Baduy yang tersisa adalah 5.101 hektar,
dengan pembagian peruntukan tanah pertanian 2.585 ha atau 51% (709 ha
atau 14% ditanami dan sisanya bera yaitu 1.876,25 ha atau 37%); lahan
pemukiman 24,5 ha atau 0,48%; hutan tetap atau hutan lindung yang tak
boleh digarap 2.492 ha atau 49% (Purnomohadi, dalam Permana, 2001). Luas
tanah yang digunakan untuk bertani dan luas tanah bera bervariasi dari
tahun ke tahun.
Secara
tradisional masyarakat Baduy membedakan enam jenis perladangan atau
huma berdasarkan fungsi, pemilikan, dan proses mengerjakannya (Garna,
1993). Keenam huma tersebut adalah:
1) Huma serang, yaitu ladang yang dianggap suci yang ada di wilayah Baduy dalam, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan upacara adat.
2) Huma puun, yaitu ladang khusus milik puun di Baduy dalam.
3) Huma tangtu, ladang yang digarap warga Baduy dalam.
4) Huma tuladan, ladang komunal di Baduy luar yang hasilnya untuk keperluan desa.
5) Huma panamping, ladang warga masyarakat Baduy luar.
6) Huma urang baduy,
yaitu ladang di luar wilayah baduy yang dikerjakan orang Baduy luar dan
hasilnya diambil untuk kepentingan keluarga masing-masing.
Kepemilikan
lahan pertanian adalah komunal, terutama untuk wilayah Baduy Dalam,
artinya setiap warga dapat menggarap tanah di wilayah ladang yang
manapun dalam luasan yang tak dibatasi, namun hanya sesuai kekuatan
tenaga yang mengerjakannya. Sedangkan bagi warga Baduy Luar, selain
mengerjakan huma panamping, mereka juga dapat menyewa lahan pertanian
milik penduduk non Baduy untuk digarap sesuai adat Baduy. Apabila lahan
garapan tersebut kemudian dibeli, maka akan menjadi Huma urang Baduy,
yang sepenuhnya menjadi hak milik orang tersebut. Pekerjaan di huma
serang yang hanya terdapat di wilayah Baduy Dalam, yang merupakan huma
adat milik bersama dikerjakan secara bersama-sama pula, baik oleh
masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Pekerjaan di huma serang
dilakukan dalam satu hari karena dikerjakan oleh banyak orang dan sarat
dengan berbagai upacara adat. Menurut Anas, salah seorang penduduk
Cibeo, pekerjaan di huma serang tersebut mengawali pekerjaan di huma
lainnya.
Kalender Pertanian
Sebagaimana
masyarakat agraris lainnya di Indonesia, masyarakat Baduy mempunyai
jadwal pertanian yang tertentu setiap tahunnya dan didasarkan kepada
letak benda astronomi tertentu, seperti kemunculan bintang tertentu dan
letak matahari. Adapun patokan bintang yang digunakan adalah bintang kidang (Waluku atau rasi Orion) dan bintang Kartika atau bintang Gumarang. Dalam prakteknya bintang kidang lebih banyak dipakai karena lebih jelas terlihat (Permana, 2001). Kemunculan bintang kidang
tersebut menandai dimulainya proses berladang karena masyarakat mulai
bersiap-siap turun ke ladang dan mulai mengolah lahan pertanian. Dalam
ungkapan mereka disebutkan: “Mun matapoe geus dengek ngaler, lantaran
jagad urang geus mimiti tiis, tah dimimitian ti wayah eta kakara urang
nanggalkeun kidang, tanggal kidang mah laju turun kujang”.
(Terjemahan: “Jika matahari telah condong ke utara, ketika bumi kita
telah mulai dingin, mulai saat itu baru kita mengamati penanggalan
dengan munculnya bintang kidang, waktu muncul bintang kidang kita mulai
menggunakan alat pertanian (kujang)” (Permana, 2001) Adapun alat
pertanian yang mereka gunakan adalah terbatas sekali, dan prinsip
pengolahan lahan mereka adalah sesedikit mungkin mengganggu tanah.
Mereka membuka huma dengan bedog atau parang panjang dan kujang
(parang pendek atau pisau), dan menanam benih padi dengan cara menugal
atau melubangi tanah dengan sepotong kayu. Pengolahan lahan dengan cara
mencangkul atau membajak adalah terlarang.
Kalender
sebagai penanda waktu pada masyarakat Baduy adalah kalender yang
berpatokan pada perputaran bulan (komariah). Satu tahun dibagi menjadi
12 bulan. Menurut Narja, seorang penduduk kampung Cibeo, urutan
bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut: Kapat, Kalima, Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit Kayu, Kasa, Karo, Katiga. Urutan bulan tersebut juga mengikuti tahapan dalam proses perladangan. Bulan Kasa, Karo, dan Katiga, yang merupakan bulan-bulan akhir masa berladang dan masa panen disebut pula masa Kawalu
yang dipenuhi dengan berbagai upacara adat dan berbagai bentuk
larangan. Pada masa tersebut tamu atau pengunjung dari luar biasanya
tidak diterima.
Tahap Pengolahan Ladang
Pengolahan
ladang di Baduy dapat dibagi menjadi beberapa tahap. Kegiatan pertanian
padi tersebut merupakan bagian sakral dari kehidupan sehari-hari
masyarakat Baduy, sehingga setiap kegiatan pada masing-masing tahapan
dilakukan dengan upacara adat (Permana, 2001). Tahapan pengolahan ladang
tersebut adalah sebagai berikut.
1) Narawas
Narawas adalah
merintis, memilih lahan untuk dikerjakan menjadi huma pada tahun
tersebut, oleh setiap kepala keluarga. Lahan yang dipilih untuk
dijadikan huma biasanya berupa reuma (bekas huma yang diberakan
cukup lama) ataupun hutan sekunder. Lahan yang dipilih oleh sebuah
keluarga biasanya ditandai dengan cara meletakkan batu, batu asahan,
ataupun menanam koneng (kunyit). Selama proses memilih lahan maka
mereka mengikuti pantangan untuk tidak berbicara kasar, kentut, memakai
baju yang bersih dan memakai ikat kepala.
2) Nyacar
Nyacar
berarti menebas rumput, semak belukar, dan pepohonan kecil yang tumbuh
tanpa ditanam, serta memotong beberapa dahan pohon besar agar lahan
mendapatkan sinar matahari yang cukup. Kegiatan ini dilakukan oleh
seluruh anggota keluarga dan biasanya dilakukan pada bulan Kalima (bulan urutan kedua pada kalender Baduy).
3) Nukuh
Nukuh berarti mengeringkan rerumputan atau dedaunan hasil tebangan pada proses sebelumnya (nyacar).
Pada proses ini hasil tebangan dikeringkan secara alami dengan sinar
matahari, dan setelah kering kemudian dikumpulkan menjadi onggokan untuk
kemudian dibakar pada proses berikutnya Apabila pada lahan yang
dijadikan huma terdapat pohon yang besar (tua usianya), maka penebangan
tidak boleh dilakukan sembarangan, dan biasanya tidak dilakukan pada
saat nyacar, melainkan menunggu sampai proses nukuh. Penebangan diawali
dengan upacara adat (pembacaan mantera dan pemberian sesaji) yang
dilakukan oleh puun dengan maksud agar makhluk halus penghuni pohon tersebut tidak marah karena tempatnya diganggu manusia.
4) Ngaduruk
Ngaduruk atau ngahuru
adalah proses membakar sisa daun dan ranting pepohonan yang dibersihkan
pada saat nyacar dan dikumpulkan pada saat nukuh. Saat ngaduruk juga berpatokan dengan kehadiran bintang kidang. Dalam istilah mereka : “kidang ngarangsang kudu ngahuru”,
yaitu pada saat bintang kidang bercahaya terang waktu subuh, yang
umumnya terjadi pada tanggal ke 18 bulan katujuh, adalah waktu yang
tepat untuk membakar. Selama pembakaran yang dilakukan untuk setiap
onggokan, api selalu dijaga agar tak merambat dan menimbulkan kebakaran
hutan. Setelah selesai membakar, maka mereka akan selalu memastikan
bahwa api telah benar-benar mati sebelum meninggalkan huma. Abu bekas
pembakaran dibiarkan di ladang sebagai pupuk sambil menunggu hujan tiba.
5) Nyoo Binih
Tahap penanaman dan pemeliharaan huma diawali dengan kegiatan nyoo binih, ngaseuk, ngirab sawan, dan ngored.
Awal penanaman sesuai dengan datangnya musim hujan dan berpatokan pada
posisi bintang kidang. Pertanda awal mulai penanaman adalah apabila
bintang kidang mencapai titik zenith atau titik puncak pada waktu subuh,
yang diistilahkan sebagai kidang muhunan. Nyoo binih adalah kegiatan mempersiapkan benih yang dilakukan 1 hari sebelum penanaman atau ngaseuk. Kegiatan
tersebut dimulai dengan menurunkan benih padi dari lumbung, yang
dilakukan oleh para wanita. Pelaku harus mengenakan selendang putih,
sabuk putih, dan rambutnya disanggul, dan melakukan kegiatan tersebut
dengan suasana hening dan khidmad, tanpa bercakap-cakap, dan dengan
mengucapkan mantra tertentu. Kegiatan menurunkan benih dari lumbung,
yang dipimpin oleh istri girang seurat, dimaknai sebagai membangunkan Nyi Pohaci,
yaitu dewi pelindung pertanian dari tidurnya. Setelah menurunkan padi
maka padi tersebut diletakkan di tempat yang lapang untuk diinjak-injak
dengan telapak kaki di atas tampah agar butir-butirnya terlepas dari
tangkai padi, kemudian benih tersebut disimpan di dalam bakul. Pada
malam hari salah satu dari bakul tersebut, yang secara simbolis mewakili
bakul-bakul lainnya dibawa ke tengah lapangan untuk diberi mantra oleh
para tetua kampung (baris kolot) diiringi serombongan pemain
angklung yang semuanya pria dan disaksikan oleh seluruh warga. Benih
pada bakul tersebut biasanya kemudian ditaman di huma serang yang merupakan huma komunal masyarakat Baduy.
6) Ngaseuk
Kata ngaseuk
berarti menugal atau menanam dengan tugal, yaitu dengan cara membuat
lubang kecil dengan sepotong kayu atau bambu yang diruncingkan ujungnya,
dan menanam benih padi ke dalamnya. Kegiatan penugalan tersebut
dilakukan para pria dewasa, dan penanamannya dibantu oleh anggota
keluarga lainnya.
7) Ngirab Sawan
Arti ngirab sawan
secara harafiah adalah membuang sampah atau penyakit. Dalam kegiatan
tersebut dilakukan pembersihan ranting dan daun atau tanaman lain
(gulma) yang mengganggu pertumbuhan padi. Kegiatan lain yang berhubungan
dengan ngirab sawan adalah ‘pengobatan’ padi, yang dilakukan
dengan cara berpantun atau membacakan pantun, dan menebarkan ramuan
‘obat padi’. Ramuan tersebut terdiri dari campuran daun mengkudu (Morinda citrifolia), jeruk nipis, beuti lajo, karuhang, gembol, areuy beureum, hanjuang,
dan kelapa muda. Semua bahan tersebut ditumbuk halus, dicampurkan
dengan abu dapur, dan disebarkan ke seluruh lahan. Pengobatan tersebut
adalah tindakan pemupukan tanaman, dan dilakukan sebanyak 10 kali selama
pertumbuhan padi.
8) Ngored dan Meuting
Ngored adalah
membersihkan atau menyiangi rumput dan gulma lain yang timbuh di antara
tanaman padi, 2 sampai 4 kali setiap bulan selama pertumbuhan padi.
Adapun meuting adalah kegiatan menginap di saung huma atau gubug
yang dibangun di huma dengan jangka waktu tertentu dalam rangka
mengurus dan memelihara tanaman.
9) Mipit
Mipit adalah kegiatan panen padi yang pertama kali dalam suatu musim, dan dilakukan di huma serang. Pemetikan padi secara simbolis yang pertama tersebut dilakukan oleh istri dari girang seurat. Padi kemudian diikat dengan tali kulit pohon teureup pada bagian tangkainya menjadi satu ikatan. Ikatan padi kemudian dikumpulkan di saung huma serang, dan setelah kering kemudian dibawa ke kampung untuk disimpan di leuit atau lumbung padi huma serang. Setelah panen di huma serang selesai, kemudian dilanjutkan dengan panen di huma puun, kemudian dilanjutkan dengan panen di huma tangtu, dan akhirnya di huma tuladan dan huma panamping.
10) Dibuat
Istilah dibuat
dalam pertanian Baduy adalah memotong atau memanen padi dengan
mempergunakan etem atau ani-ani, yang biasanya dilakukan oleh kaum
wanita. Pelaksanaannya adalah setelah upacara mipit dan harus dilakukan
segera. Apabila terlambat maka hama walang sangit (kungkang)
akan muncul. Kegiatan tersebut dilakukan oleh seluruh keluarga, dan
selama kegiatan tersebut sampai dengan padi menjadi kering dijemur,
seluruh anggota keluarga menginap di huma.
11) Ngunjal
Ngunjal adalah mengangkut hasil panen padi dari huma ke kampung untuk kemudian disimpan dalam leuit atau lumbung. Padi yang telah beberapa hari dikeringkan atau dilantay, disimpan dengan cara menumpuk secara teratur (dielep).
Sebelum diangkut ke kampung, tali pengikat padi diganti dengan tali
baru. Pengangkutan hasil padi dilakukan secara bertahap oleh seluruh
keluarga. Para pria mengangkutnya dengan cara mengikat padi menjadi dua
ikatan besar dan kemudian dipikul dengan menggunakan bambu, sedangkan
para wanita membawa padi dengan cara menggendong dengan menggunakan
kain.
12) Nganyaran
Nganyaran adalah
kegiatan upacara memakan atau mencicipi nasi baru, atau nasi pertama
kali hasil dibuat di huma serang. Upacara nganyaran dimulai dengan
mengambil 5 ikat padi dari leuit huma serang. Padi tersebut kemudian dibawa ke saung lisung, yaitu tempat menumbuk padi yang digunakan secara komunal, untuk ditumbuk oleh 5 orang wanita, yaitu para istri dari puun, girang seurat, jaro tangtu, baresan, dan bekas puun.
Alu penumbuk padi sebelumnya diusap dengan ludah masing-masing
penumbuknya. Beras hasil tumbukan disimpan dalam bakul tempat nasi dan
ditutup dengan kain putih yang diberi wewangian, dibawa ke rumah girang seurat untuk dibuat nasi tumpeng. Keesokan harinya, nasi tumpeng yang telah siap dibawa ke rumah puun
untuk diberi mantra dan doa, kemudian di alun-alun nasi tumpeng
tersebut dibagi-bagikan kepada seluruh warga yang hadir. Sebelum pulang
ke rumah masing-masing, warga mengambil beberapa bulir padi hasil panen
dari huma serang yang disediakan di depan golodog bale.
Jika padi masih banyak tersisa setelah diambil para warga, maka hal
tersebut merupakan suatu pertanda bahwa hasil panen di seluruh wilayah
Baduy akan berlimpah. Selanjutnya padi hasil pertanian mereka adalah
terlarang untuk dijual atau diperdagangkan.
Pola Konservasi Hutan Tradisional Masyarakat Baduy
Masyarakat
Baduy menerapkan cara pertanian ladang berpindah yang merupakan cara
bercocok tanam tahap awal evolusi cara bertani. Sistem perladangan
berpindah tersebut sangat tergantung pada keberadaan dan kelestarian
hutan di wilayah tersebut. Dengan demikian hutan memegang peran penting
dalam hubungan antara masyarakat Baduy dengan lingkungan alamnya.
Keberadaan mereka menurut sejarah dan kepercayaan adalah dalam rangka
menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang menjadi sungai utama pada
jaman Kerajaan Sunda/Pajajaran. Masyarakat Baduy diperintahkan untuk
mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung yang berperan sangat
penting dalam bidang transportasi dan pertanian, beserta hutan yang
melindungi mata airnya, yang mereka sebut sebagai Sirah Cai atau
kepala air (Adimihardja, 2000). Untuk menjaga keseimbangan ekosistem
hutan dan DAS tersebut, maka masyarakat Baduy yang bermukim di wilayah
tersebut ditabukan untuk bercocok tanam dengan cara mengolah lahan
seperti membuat petak sawah, mencangkul, atau menanami dengan tanaman
untuk perdagangan. Cara pengolahan lahan yang berlebihan dan pengusahaan
lahan pertanian untuk diperdagangkan diyakini akan menimbulkan
kerusakan ekosistem. Dengan demikian pertanian yang mereka praktekkan
adalah pertanian sederhana, sesedikit mungkin mengolah tanah dan hanya
untuk kebutuhan bertahan hidup secara subsisten saja. Bekas ladang akan
diliarkan kembali dan menjadi hutan belukar, dan seterusnya menjadi
hutan sekunder. Selain itu hewan ternak yang berkaki empat juga
ditabukan mengingat injakan kaki serta kebutuhan makanan ternak akan
daun-daunan dalam jumlah banyak diyakini pula dapat mengganggu
kelestarian hutan.
Secara adat istiadat Baduy, hutan dibeda-bedakan berdasarkan peran dan fungsinya sebagai: hutan tua (leuweung kolot ); hutan muda ( leuweung ngora ); semak belukar lebat bekas huma (leuweung reuma ), dan semak belukar ( jami ).
Hutan tua ada di wilayah Baduy Dalam dan jauh dari permukiman,
sedangkan ketiga jenis hutan lainnya ada di sekitar perkampungan (Garna,
1993). Hutan tua di wilayah Baduy, secara adat dianggap suci dan tabu
untuk dieksploitasi oleh manusia, sehingga pengawasannya ditangani oleh puun sebagai
ketua adat. Hutan tua tersebut pada umumnya terletak di puncak
perbukitan, sehingga Iskandar (1992, dalam Adimihardja, 2000) membagi
zonasi hutan sebagaimana tertera pada gambar 2. Zona pertama (I) yang
terletak di kaki bukit biasanya diperuntukkan bagi daerah permukiman dan
dukuh lembur. Zona berikutnya (II), yang semakin mengarah ke lereng
diperuntukkan bagi pertanian atau huma. Sedangkan zona yang terakhir
(III) yang terletak di puncak perbukitan merupakan hutan tua. Strategi
konservasi hutan secara tradisional pada masyarakat Baduy tersebut juga
tercermin dalam penyusunan tata ruang, dalam hal ini susunan
perkampungan penduduknya. Perkampungan Baduy dibedakan menjadi kampung Tangtu (Baduy Dalam), Panamping (Baduy Luar), dan Dangka yang terletak diluar wilayah Kanekes. Kampung dangka adalah kampung kecil yang merupakan kantong-kantong penyangga, atau semacam buffer zone
pada lapisan terluar, berfungsi sebagai kampung penangkal bagi masuknya
pengaruh luar ke wilayah Baduy. Selain itu penduduk kampung dangka
juga bertugas menjaga dan memelihara hutan larangan yang terletak di
luar wilayah Baduy, sebagai hutan cadangan untuk kepentingan perluasan
perladangan orang Baduy (Adimihardja, 2000). Namun demikian, keberadaan
hutan larangan di wilayah dangka tersebut semakin lama semakin sempit,
karena berbagai penyerobotan, penjarahan, dan penggundulan yang
dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat di sekitar. Bahkan sejak
jaman Belanda, banyak bagian dari hutan larangan di wilayah dangka
tersebut yang diubah menjadi perkebunan karet. Dengan demikian fungsi
kampung dangka sebagai buffer zone tersebut semakin lama semakin
tidak berarti. Menurunnya fungsi dan peranan kampung dangka tersebut
tercermin pula dari penurunan jumlah kampung yang ada. Pada awalnya
terdapat 9 kampung dangka (Adimihardja, 2000). Pada 1929 jumlah kampung
dangka telah menyusut menjadi 7 kampung, dan selanjutnya pada 1975
sampai dengan tahun 2000 hanya tinggal 3 kampung dangka lagi (Makmur,
2001). Sedangkan pada saat penelitian ini dilakukan pada tahun 2003,
hanya tersisa 2 kampung dangka saja. Dengan menyusutnya jumlah kampung
dangka maka warga Baduy yang tinggal di kampung dangka kemudian ditarik
ke wilayah Kanekes.
Keberlanjutan Ekosistem Baduy
Keberlanjutan
ekosistem Baduy yang terdiri dari ekosistem alam dan sistem sosial
budaya tergantung dari beberapa faktor. Faktor tersebut bersifat
eksternal, apabila datang dari luar komunitas, dan internal apabila
berasal dari dalam komunitas. Pada kasus Baduy, gangguan yang merupakan
faktor eksternal antara lain adalah ancaman terhadap kelestarian hutan.
Luas hutan alam yang merupakan leuweng kolot terus berkurang. Ancaman tersebut dilakukan oleh penduduk luar Baduy. Menurut Jaro Dainah, seorang jaro pamarentah
yang tinggal di Kampung Kadu Ketuk, gangguan dari penduduk luar berupa
penebangan hutan, penyerobotan tanah, dan pengambilan ikan di sungai
dengan mempergunakan racun. Adapun faktor internal yang mengancam
kelestarian lingkungan Baduy antara lain adalah pertumbuhan penduduk
Baduy yang relatif pesat. Sebagaimana pada data pertambahan jumlah
penduduk dari beberapa tahun, pertambahan penduduk adalah sekitar 3,7%
per tahun (Iskandar, 1991). Pertambahan penduduk yang pesat tersebut
menyebabkan kebutuhan akan sumberdaya alam terus meningkat pula.
Sehubungan keberadaan sumberdaya alam seperti lahan pertanian relatif
tetap, sedangkan pengusahaan dilakukan terus menerus, maka akan terjadi
penurunan kualitas yang terus menerus. Dengan demikian batas daya dukung
lingkungan di wilayah Baduy tampaknya akan segera terlampaui. Tanda
tersebut antara lain tampak pada jarak waktu penanaman huma atau masa
bera yang semakin pendek. Pada waktu yang lampau, bekas ladang yang
telah diusahakan akan dibiarkan kembali menjadi semak belukar dan baru
akan dibuka dan ditanami kembali setelah 7 sampai 10 tahun. Pada keadaan
sekarang, masa bera tersebut menjadi berkurang sehingga 3 sampai 5
tahun. Dengan masa bera yang pendek tersebut, alam belum sempat
memperbaiki diri dan mengembalikan kesuburan tanah. Karena praktek
tersebut terjadi berulang-ulang, maka terjadi penurunan kesuburan yang
signifikan terhadap perladangan di wilayah Baduy.
Faktor
internal lain yang berpengaruh adalah cara pertanian tradisional Baduy
yang hampir tanpa pemupukan, kecuali abu. Tanpa adanya pemeliharaan
terhadap kesuburan tanah seperti pemberian pupuk, dibutuhkan waktu yang
relatif lama bagi tanah untuk mengembalikan kesuburan alaminya. Dalam
kasus praktek ladang berpindah, maka masa bera atau istirahat bagi lahan
akan relatif lama. Untuk perladangan berpindah di wilayah tropika, maka
masa bera yang ideal tergantung pada jenis tanah dan kandungan bahan
organik tanah, dan berbeda-beda untuk setiap wilayah. Apabila masa berat
yang diberikan oleh petani Baduy pada ladang mereka adalah 24 tahun,
atau sedikit lebih cepat mengingat adanya pemupukan dari abu bekas
bakaran ranting dan daun, maka pola pertanian tersebut akan bersifat
berkelanjutan. Hal tersebut tentunya sangat sukar dilaksanakan oleh
masyarakat Baduy pada saat sekarang mengingat jumlah penduduk dan luas
lahan yang tersedia. Sedangkan lama waktu masa bera yang mungkin terjadi
untuk keadaan sekarang akan berdampak pada penurunan kesuburan secara
terus menerus.
Penurunan
kualitas lahan yang berupa kesuburan tersebut tentunya berdampak pada
penurunan hasil panen dari tahun ke tahun. Hal tersebut diakui oleh
penduduk Baduy Dalam seperti Narja dan Anas yang berladang di sekitar
Kampung Cibeo. Jika dahulu padi hasil ladang mereka cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup bagi semua keluarga secara subsisten maka sekarang ini
padi hasil ladang mereka hanya digunakan untuk keperluan adat seperti
pada bulan-bulan Kawalu. Sedangkan untuk makanan sehari-hari mereka
membeli beras dari perkampungan luar Baduy. Dengan kata lain, pada masa
sekarang ini mereka sudah tidak hidup secara subsisten lagi. Penurunan
sumberdaya alam dan kualitas lingkungan di wilayah Baduy tersebut
dibuktikan menurut studi simulasi permodelan lingkungan yang dilakukan
oleh Iskandar (1991). Berdasarkan data kependudukan dan hasil bumi tahun
1985/1986, di wilayah Baduy diduga terjadi penurunan penduduk secara
cepat setelah 27 tahun karena persediaan makanan yang menurun.
Ketersediaan makanan akan menurun setelah 20 tahun dan output per
hektar lahan akan menurun sebesar 10% setiap 4 tahun. Dalam jangka
waktu 50 tahun, jumlah populasi akan mencapai nol. Hal tersebut berarti
kepunahan Masyarakat Baduy pada tahun 2035. Selanjutnya perhitungan
simulasi tersebut juga menunjukkan bahwa apabila eksistensi Baduy masih
akan dipertahankan maka kelestarian hutan harus dipertahankan,
perladangan berpindah dibatasi tempatnya sehingga tidak merambah sisa
hutan yang ada, terjadi peningkatan kesuburan tanah dengan perbaikan
sistem bertani, dan memperkecil laju kelahiran dari 3,7% per tahun
menjadi 2,0%. Dengan demikian, persediaan makanan akan bertambah lagi
dan setelah 50 tahun Masyarakat Baduy masih akan eksis (Iskandar,
1991). Dengan pola yang ada maka ekosistem Baduy tidak bersifat
berkelanjutan kecuali terjadi perubahan dan adaptasi dari sistem sosial
mereka. Mengingat adat istiadat yang bersifat ‘bertahan dari segala
perubahan’ atau sedapat mungkin menolak perubahan maka keadaan tersebut
menjadi kritis bagi eksistensi Baduy.
(sumber:http://perpushalwany.blogspot.com)
______________________________________________________________________________
Tradisi “Seba” Peninggalan Adat Leluhur Baduy
DN. Halwany
"Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung"
(panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).
(panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).
Filosofi
itulah hingga kini tetap aktual bagi komunitas Baduy dipedalaman Lebak
yang merayakan tradisi upacara Seba sebagai wujud ungkapan syukur kepada
Bapak Bapak Gede (Bupati atau kepala pemerintahan daerah).
Perayaan
adat Seba, menurut warga Baduy, merupakan peninggalan leluhur tetua
(Kokolot) yang harus dilaksanakan sekali dalam setiap tahun. Acara itu
digelar setelah musim panen ladang huma, bahkan tradisi sudah
berlangsung ratusan tahun sejak zaman Kesultanan Banten di Kabupaten
Serang. Namun, dalam upacara Seba kali ini, di Pendopo Pemkab Lebak
berbeda dengan tahun-tahun lalu. Seba tahun ini jumlah pendatang warga
Baduy Luar dan Baduy Dalam terbesar hingga tercatat sebanyak 1.031 orang
atau 10 persen dari penduduk 10.074 jiwa.
Seba
itu sediri merupakan menyerahan hasil tani atau hasil bumi pada
pemerintah setempat yang biasa kita sebut dengan upeti pada kerajaan,
itu semua merupakan rasa syukur masyarakat baduy luar dan baduy dalam
karena mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah, kegiatan seba ini
tanpa ada paksaan dari manapun masyarakat baduy luar yang dipimpin oleh
Jaro maupun baduy dalam yang dipimpin oleh Puun, bersama-sama
berbondong-bondong membawa hasil tani tersebut pada pemerintahan yang
saat itu diserahkan pada Bupati Lebak secara langsung di pendopo
Kabupaten Lebak.
Kawasan
Baduy yang menghuni lahan seluas 5.108 hektare itu, dan seluas 3.000
hektare di hutan lindung dalam acara Seba tersebut meminta perlindungan
kepada Bupati dan aparat pemerintah daerah sehingga masyarakat Baduy
merasa aman dan damai. Kejadian pemerkosaan dan penyerobotan tanah
ulayat yang menimpa warga Baduy tahun lalu, jangan sampai terulang
kembali. Demikian permintaan warga Baduy dalam acara Seba tersebut.
Panggilan kewajiban Seba begitu sakral, karena prosesi itu titipan dari
Lembaga Adat Baduy dari leluhur hingga dijalankan para generasi
penerusnya. Malam itu, ribuan warga Baduy memadati pelataran Pendopo
tampak hening dan khusyu tak ada satu pun orang-orang yang bercanda atau
mengganggu acara tersebut.
Baduy
Dalam, berseragam serba putih-putih hingga kini masih mempertahankan
adat mereka. Baduy Dalam pergi kemana-mana selalu ditempuh berjalan
kaki. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan, termasuk
mengikuti upacara Seba dengan berjakan kaki sepanjang 50 Km. Bagi Baduy
Luar yang berseragam hitam-hitam kehidupannya lebih modern, dan mereka
kemana-kemana menggunakan kendaraan bahkan di zaman sekarang ini juga
banyak warga Baduy Luar memiliki telepon seluler (ponsel).
Ayah
Mursid (35), seorang kepala Lembaga Adat Baduy Dalam (Tangtu Jaro 3),
memiliki kekuasaan Cibeo, Cikeusik, Cikawartana, sejak usia 12 tahun
sudah mengikuti acara Seba, sehingga dirinya cukup dikenal di kalangan
pejabat pemerintah maupun masyarakat Lebak. Ia bersama Naldi (20), warga
Cikeusik, melakukan perjalanan menuju Pemkab Lebak yang cukup
melelahkan sekitar 12 jam, dan mereka berjalan kaki hingga sepanjang 12
kilometer menembus perbukitan Gunung Kendeng di kawasan Baduy.
Selama
menempuh ke pusat pemerintahan, ia juga beberapa kalii melepaskan rasa
lelah dengan beristirahat di sepanjang jalan. "Kami mulai pergi dari
Kampung Cibeo sekitar pukul 5.00 pagi. Orang-orang masih tidur lelap.
Namun, perjalanan lancar hingga sampai di sini pukul 17.00 sore,"
katanya.
Prosesi
upacara Seba suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dan menjadikan
ketetapan Lembaga Adat Masyarakat Baduy yang diterapkan dalam kehidupan
bernegara dan berbangsa. "Seba itu titipan adat yang harus dijalankan
karena jika tidak dilaksanakan khawatir kami kualat," katanya. Namun
demikian, kendati melelahkan Seba itu, ia merasa senang selain bisa
bertemu langsung bersama Bupati dan aparat Muspida setempat.
Saidi
sebagai Jaro tanggungan 7 yang membawahi Lembaga Masyarakat Baduy Luar
sekaligus memimpin acara Seba itu meminta perlindungan kepada Bupati
sebagai kepala daerah dan Kepolisian setempat, agar ditegakan hukum bagi
pelaku kerusakan hutan maupun pemilik ternak yang masuk ke wilayah
kawasan Baduy. "Di perbatasan masih ada ternak warga luar yang masuk ke
kawasan Baduy hingga merusak tanaman, padahal kami sudah beberapa kali
melaporkan ke aparat polisi, namun hingga kini belum juga ditindak,"
katanya. Ia mengatakan, pihaknya berharap dalam kehidupan itu dilindungi
oleh pemerintah daerah sehingga warga Baduy merasa tenang dalam
menjalankan aktivitas pertanian.
(sumber:http://perpushalwany.blogspot.com)
_________________________________________________________________________________________
Hukum Adat Leluhur Baduy
DN. Halwany
Gunung tak diperkenankan dilebur
Lembah tak diperkenankan dirusak
Larangan tak boleh di rubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung
yang bukan harus ditolak yang jangan harus dilarang
yang bukan harus ditolak yang jangan harus dilarang
yang benar haruslah dibenarkan
Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un. Setelah kami terjun langsung melakukan observasi, terbukti bahwa dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin.” Demikian pernyataan Bapak Dainah, Kepala Desa Kanekes yang membawahi seluruh wilayah tempat pemukiman Suku Baduy, di Kabupaten Lebak, Banten. Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi. Berikut sekelumit goresan perjalanan tentang beberapa aturan adat Orang Baduy.
Bulan Puasa/Kawalu
Desa Ciboleger, pintu masuk wilayah Baduy Luar. Ketika pagi datang, kami beranjak berangkat berjalan kaki ke pemukiman Suku Baduy. Kami bertemu salah satu Wakil Jaro (wakil kepala kampung) dari Baduy Dalam, bernama Mursyid. Dari obrolan dengan beliau pagi itu, kami mendapatkan banyak informasi yang dibutuhkan. Ternyata kedatangan kami pada saat itu tergolong sial, karena masyarakat Baduy Dalam sedang melaksanakan puasa yang dinamakan Kawalu. Di saat Kawalu ini, orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah mereka. Kami tentu saja sempat terkejut dengan keterangan itu, terutama karena saat kunjungan bukan bulan puasa (Ramadhan) seperti yang dilakukan oleh umat Islam. Juga, kedatangan kami di hari Sabtu, bukan Senin atau Kamis yang disunah-kan bagi umat Islam untuk melakukan puasa. Namun, itulah yang menjadi awal ketertarikan kami untuk mengulas budaya serta adat-istiadat masyarakat Baduy. Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani puasa yang mereka disebut “Kawalu” dan jatuh bulannya adalah di Bulan yang diwajibkan puasa. Di saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau selamatan-selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu. Satu-satunya kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan amanah adat-nya.
Desa Ciboleger, pintu masuk wilayah Baduy Luar. Ketika pagi datang, kami beranjak berangkat berjalan kaki ke pemukiman Suku Baduy. Kami bertemu salah satu Wakil Jaro (wakil kepala kampung) dari Baduy Dalam, bernama Mursyid. Dari obrolan dengan beliau pagi itu, kami mendapatkan banyak informasi yang dibutuhkan. Ternyata kedatangan kami pada saat itu tergolong sial, karena masyarakat Baduy Dalam sedang melaksanakan puasa yang dinamakan Kawalu. Di saat Kawalu ini, orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah mereka. Kami tentu saja sempat terkejut dengan keterangan itu, terutama karena saat kunjungan bukan bulan puasa (Ramadhan) seperti yang dilakukan oleh umat Islam. Juga, kedatangan kami di hari Sabtu, bukan Senin atau Kamis yang disunah-kan bagi umat Islam untuk melakukan puasa. Namun, itulah yang menjadi awal ketertarikan kami untuk mengulas budaya serta adat-istiadat masyarakat Baduy. Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani puasa yang mereka disebut “Kawalu” dan jatuh bulannya adalah di Bulan yang diwajibkan puasa. Di saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau selamatan-selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu. Satu-satunya kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan amanah adat-nya.
Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua,
selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi
dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga,
mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan
pernikahan untuk pihak perempuan. Pelaksanaan akad nikah dan resepsi
dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk
mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang
Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan
untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy
Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan
biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk
diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan
antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat
diperuntukkan
bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang
mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi
peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan
dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat
selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali
apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan
menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat
Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan
Baduy.
Rutannya
Orang Baduy, atau lebih tepat disebut tahanan adat, sangat jelas
berbeda dengan yang dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah Tahanan
Adat Baduy bukanlah jeruji besi yang biasa digunakan untuk mengurung
narapidana di kota-kota, melainkan berupa sebuah rumah Baduy biasa dan
ada yang mengurus/menjaganya. Selama 40 hari sipelaku bukan dikurung
atau tidak melakukan kegiatan sama sekali. Ia tetap melakukan kegiatan
dan aktivitas seperti sehari-harinya, hanya saja tetap dijaga sambil
diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. Uniknya, yang namanya
hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai
mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan
berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat
kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman
berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya
cekcok mulut saja. Setelah
melihat dan melakoni sepenggal perjalanan ini, kami memahami bagaimana
patuhnya masyarakat Baduy terhadap segala peraturan yang telah
ditetapkan oleh Pu’un mereka. Kepatuhan dan ketaatan itu dijalani dengan
biasa tanpa penolakkan apapun. Hasilnya? Kekaguman akan dirasakan oleh
semua orang yang berkunjung ke sana; mereka amat rukun, damai, dan
sangat sejahtera untuk ukuran kecukupan kebutuhan hidup sehari-hari.
Itulah yang kami rasakan sebagai kesimpulan dari perjalanan menyelami
salah satu suku tradisional.
(sumber:http://perpushalwany.blogspot.com)
Posting Komentar